Ngaku Jaga Alam, Tapi Masyarakat Kuningan Kehilangan Air? Cek 3 Kegagalan BTNGC
DI KUNINGAN, air bukan sekadar sumber kehidupan; ia adalah urat nadi sosial yang menentukan tenang tidaknya sebuah daerah. Karena itu, tidak mengherankan ketika ratusan warga yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Kuningan (ALAMKU) turun ke jalan pada 10 Desember 2025, suara yang muncul bukan sekadar teriakan protes melainkan keluhan panjang yang telah lama mengendap.
Aksi itu berlangsung di depan kantor Balai Taman Nasional Gunung Ciremai (BTNGC), Desa Manis Lor, memadati jalur utama Kuningan–Cirebon sejak pukul sepuluh lewat. Polres Kuningan sampai harus menyiapkan pengalihan arus demi menjaga keselamatan lalu lintas indikasi bahwa persoalan ini tidak main-main.
Data peristiwa ini terverifikasi dari investigasi lapangan tim kami yang memotret tuntutan masyarakat berikut jawabannya dari BTNGC.
Krisis Air dan Tuduhan Pemanfaatan Ilegal
Tuntutan pertama menyasar isu yang paling fundamental: penurunan debit air yang dirasakan warga desa sekitar. Menurut laporan resmi, demonstran menuding terdapat pemanfaatan air tanpa izin di kawasan pegunungan, dan aktivitas itu dianggap menyebabkan berkurangnya suplai air ke lahan pertanian.
Kepala Balai TNGC tidak menutup mata. Ia mengakui adanya sekitar 15 titik pemanfaatan air yang belum memiliki izin lengkap, dan tengah ditangani melalui proses penataan serta pengurusan izin sesuai regulasi Kementerian LHK. Pengakuan ini mengonfirmasi bahwa persoalannya bukan sekadar persepsi public tetapi fakta administratif yang selama ini tertunda dibereskan.
Di daerah yang hidup dari sawah dan kebun, satu hambatan kecil pada rantai air bisa menjelma keresahan. Dan keresahan kolektif, sebagaimana kita lihat, mudah melahirkan demonstrasi.
Kelestarian Lingkungan dan Kegelisahan Sosial
Tuntutan kedua adalah persoalan yang lebih konseptual: pengelolaan lingkungan di kawasan Gunung Ciremai dianggap tidak lagi berpihak pada masyarakat. ALAMKU menuding BTNGC tidak cukup tegas menjaga kelestarian kawasan, terutama terkait eksploitasi sumber daya yang terhubung langsung dengan kehidupan warga.
Ada ironi kecil dalam situasi ini: Taman Nasional diciptakan untuk melindungi alam, namun masyarakat yang tinggal di lerengnya merasa justru kehilangan akses terhadap sumber alam yang sama.
Ketika institusi negara tidak mampu menjawab kegelisahan itu dengan komunikasi yang memadai, ruang kosongnya akan diisi oleh kecurigaan dan protes.
Seruan Paling Ekstrem: Bubarkan BTNGC
Beberapa kelompok bahkan menyerukan pembubaran BTNGC. Tentu ini bukan tuntutan sederhana. Ia mencerminkan ketidakpercayaan struktural antara masyarakat dan otoritas pengelola taman nasional.
Orator aksi menyebutkan bahwa tuntutan bubar ini dipicu oleh krisis air yang dianggap semakin memburuk, sementara aturan dan izin dinilai berjalan lambat.
Di lapangan, suasana aksi menguat dengan atraksi debus, pembakaran ban, hingga penutupan dengan doa bersama untuk masyarakat Aceh dan Sumatera yang dilanda bencana. Demonstrasi ini bukan semata aksi marah; ia adalah pesan moral, pesan politik, sekaligus pesan sosial.
Apa yang Sebenarnya Terjadi?
Di balik keramaian itu, sesungguhnya ada tiga masalah besar:
1. Pengelolaan izin yang tidak tuntas: 15 titik air belum berizin adalah angka yang tidak kecil untuk kawasan konservasi.
2. Keterputusan komunikasi antara institusi dan warga: publik tidak pernah tenang jika tidak diberi ruang dialog dan transparansi.
3. Ketegangan antara konservasi dan kebutuhan hidup masyarakat: taman nasional melindungi alam, tetapi masyarakat memerlukan aksesnya.
Kuningan tidak kekurangan sumber air; yang kurang adalah tata kelola yang membuat air itu adil bagi semua.
Penutup
Demo di depan BTNGC bukan sekadar gejolak sesaat. Ia adalah cermin bahwa masyarakat desa telah lama menahan suara, dan ketika suara itu akhirnya keluar, ia membawa tiga pesan: jaga alam, kelola air secara adil, dan jangan biarkan regulasi menghalangi hajat hidup.
Kita tentu tidak berharap Kuningan tumbuh sebagai daerah yang konflik airnya menyerupai daerah-daerah terpencil di luar Jawa. Kita ingin Kuningan menjadi daerah yang mampu menyeimbangkan konservasi dan kesejahteraan.
Gunung Ciremai tetap kokoh. Yang rapuh bukan alamnya, tetapi tata kelolanya.
Dan selama itu belum dibenahi, jalan Manis Lor mungkin akan kembali dipenuhi suara-suara yang menuntut keadilan dari sumber kehidupan yang seharusnya menjadi berkah bagi semua.”*
_Sela Waktu
Ageng Sutrisno

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.