Sedihnya Gaji PPPK Paruh Waktu, Tunjangan Rumah DPRD Kuningan Rp1,087 Miliar/Bulan Jalan Terus?
ADA yang menggelitik dari kisah para tenaga PPPK paruh waktu di Kuningan. Mereka bekerja, mengabdi, dan hadir di lapangan sebagaimana pegawai lain: penuh waktu, penuh tugas, penuh ekspektasi. Namun anehnya, status yang melekat justru “paruh waktu”. Sebuah istilah yang terdengar ringan, tapi terasa berat ketika bersinggungan dengan realitas keseharian.
2 Juta VS 25 Juta
Pertama, soal nilai kerja. Kita semua tahu UMR Kuningan bukan angka yang besar yakni hanya Rp2,209,519.00, tetapi cukup untuk menjadi batas minimum penghargaan atas tenaga manusia. Namun nampaknya isue yang beredar batas minimum pun sepertinya jauh panggang dari api. Karena akan menghitung masa kerja dan upahnya dibawah UMR Kuningan. Kita tunggu realiasinya
Sangat wajar bila muncul pertanyaan: bila pemerintah mampu memberi tunjangan rumah kepada DPRD hingga belasan kali UMR yakni Rp.20.000.000 – Rp.25.000.000, mengapa untuk para pekerja garis depan, angka minimal saja harus diperdebatkan? Adakah kita sedang membangun prioritas, atau sekadar mempertahankan formalitas?
Saya sangat yakin dan semua akan sepakat jika tunjangan tersebut dikurangi sesuai dengan angka kebutuhan hidup layak di Kuningan lalu sisanya dibagikan kepada pekerja yang diberi label paruh waktu. Ini jauh lebih maslahat dibanding hanya untuk segelintir orang.
4.274 orang pekerja honorer diberikan upah yang sesuai lebih penting dibanding tunjangan rumah mewah bagi 50 anggota dewan, yang mencapai Rp1.087 miliar/bulan.
Tentang Makna
Kata paruh waktu seharusnya punya konsekuensi. Ia tak boleh berdiri sebagai label kosong. Bila jam kerja tetap delapan jam sehari, empat puluh jam seminggu, apa sesungguhnya yang paruh dari pekerjaan itu? Barangkali istilah itu hanya tempelan; semacam stiker birokrasi yang kita tahu tak benar-benar mencerminkan isi paketnya. Jika memang bekerja penuh, maka tidak ada salahnya menyebut mereka apa adanya: pegawai penuh waktu, tanpa tedeng aling-aling. Tolonglah, numenklatur yang sudah jelas maknanya jangan sampai jadi bahasa yang diperhalus seolah – olah ya padahal tidak.
Para PPPK paruh waktu juga manusia punya keluarga, punya resiko sakit, punya kecemasan tentang masa depan. Maka wajar bila mereka berharap fasilitas BPJS Ketenagakerjaan dan BPJS Kesehatan melekat sebagai jaring keselamatan. Ini bukan soal mewah atau tidak. Ini soal standar minimum sebuah negara yang menyebut dirinya hadir.
Ketika pemerintah mampu untuk menyuruh swasta memenuhi kewajiban ini guna, jangan sampai pemerintah sendiri abai akan apa yang ia serukan. Ini sama saja buruk muka, cermin dibelah.
Pada akhirnya, tulisan ini bukan untuk menghakimi. Hanya cara lain untuk bertanya pelan: Apa artinya pengabdian bila negara hadir hanya setengah-setengah?
Di sebuah kabupaten kecil seperti Kuningan, nama baik pemerintahan sering dibangun bukan dari proyek besar atau baliho tinggi, melainkan dari bagaimana ia memperlakukan orang-orang yang bekerja dalam diam.
Dan kadang, suara paling jujur justru lahir dari mereka yang diberi label paruh waktu, meski hidupnya dijalani dengan penuh waktu.
Ageng Sutrisno
Penulis Sela Waktu, rubrik mingguan reflektif di inilahkuningan.com
Biasa menulis tentang hidup, politik, dan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan statistik.
Kalau tidak menulis, biasanya sedang mikir kenapa harga nasi goreng terus naik.

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.