Saat Negeri Membisu, Bendera Bajak Laut Bicara Lebih Nyaring
ANGIN sore menyapu lembut pematang sawah. Matahari tergelincir malu-malu di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan. Di kejauhan, suara anak-anak latihan drum band menyatu dengan lengkingan motor yang melaju membawa kibaran, bukan merah-putih, tapi bendera bajak laut.
Seketika terasa, ada yang bergeser dari kebiasaan Agustusan kita. Semangat kemerdekaan yang dulu membuncah kini terasa janggal. Ada ironi dalam perayaan, seperti panggung sandiwara yang aktornya kehilangan naskah.
Di antara keramaian jalanan, berkibarlah bendera tengkorak. Sebagian menganggapnya guyonan, sebagian lagi simbol perlawanan diam. Tapi bagi banyak orang terutama generasi muda ini adalah bentuk frustrasi yang kreatif. “Kalau negara sudah jadi kapal bocor yang dikuasai bajak laut elite, kenapa kami tak boleh jadi bajak laut juga?” ujar seorang pemuda sambil memasang stiker pirates di helmnya.
Agustus biasanya harum oleh aroma semangat. Jalan-jalan kecil dipasangi umbul-umbul, gang-gang sempit mendadak ramai dengan lomba makan kerupuk dan tarik tambang. Di langit, merah putih berkibar gagah: seolah mengingatkan bahwa kita pernah merdeka.
Namun tahun ini, ada pemandangan yang ganjil tapi jujur: di motor-motor, truk bak terbuka, dan jendela mobil pribadi berkibar bendera Jolly Roger. Tengkorak dan tulang bersilang, simbol bajak laut dari jagat fiksi One Piece. Sebuah parodi, atau barangkali sebuah perlawanan.
Terlalu Muak Dengan Pemerintah Yang Sakit
Kami tidak lagi ingin berpura-pura bangga pada negara yang bahkan tidak tahu bagaimana menjaga warganya. Negara ini pernah besar karena cerita. Kini ia runtuh karena diam dan dusta.
Apa artinya kemerdekaan, jika data pribadi kami bisa dijebol siapa saja, lalu dijual seperti kacang goreng di pasar gelap? Pusat Data Nasional yang katanya benteng digital Indonesia, ternyata hanya tirai tipis yang koyak diterpa angin. Dalam diam, kita dijarah, tanpa bisa melawan. Lalu, seperti biasa: tidak ada yang salah. Tidak ada yang bertanggung jawab. Semua tersenyum dalam rapat.
Apa artinya kibaran merah putih, jika rekening rakyat bisa diblokir sepihak oleh PPATK, tanpa proses hukum yang adil? Bukankah itu penjajahan dalam bentuk paling serampangan? Mereka mencuri atas nama “penertiban”, tanpa mengerti betapa hidup kami tak semewah tagihan mereka. Meski kebijakan ini sudah dicabut, kesannya masih meninggalkan luka yang dalam. Hal ini menandakan seolah – olah masyarakat itu kelinci percobaan. Diuji riknya ketika berisik baru dicabut. Seharusnya didengar dulu baru diterapkan bukan diterapkan dulu baru mendengar.
Apa artinya nasionalisme, jika nikel dari Raja Ampat tanah surga di ujung timur justru dikeruk diam-diam, tanpa sepengetahuan rakyatnya? Katanya demi rakyat, tapi kami tahu siapa yang menambang dan siapa yang menikmati hasilnya. Bumi kami, mereka lubangi, tapi tidak untuk kami.
Apa artinya pembangunan, jika proyek CoreTax senilai triliunan rupiah justru gagal karena Kementerian Keuangan tidak siap secara teknis dan mental? Dana negara, sekali lagi, diperlakukan seperti mainan anak elite.
Apa artinya keadilan, jika kasus Tom Lembong yang sejak awal jelas tak layak dipidanakan malah terus dikejar hingga akhirnya mendapat abolisi ? Bukannya menghadirkan penjelasan yang gamblang kepada publik, negara justru menutup cerita dengan “surat pengampunan”. Seolah segalanya selesai tanpa introspeksi. Padahal, abolisi hanyalah perban di atas luka sistem hukum yang busuk, bukan penyembuhan. Sampai kapan hukum kita berjalan seperti sinetron dengan plot absurd: yang salah bisa tertawa, yang benar harus menunggu belas kasih?
Dan jangan lupakan: pengangguran kita sedang menumpuk. Anak muda yang baru lulus tidak tahu harus ke mana. Lapangan kerja menyempit, tapi kursi kekuasaan justru dirangkap-rangkap. Seolah negeri ini hanya tempat bagi mereka yang kuat dan serakah.
Pejabat Tak Punya Malu : Wamen Pegang Dua Kursi, Rakyat Tetap Di Kursi Roda.
Data pengangguran resmi BPS Februari 2025 menyebut ada 7,28 juta pengangguran, atau sekitar 4,76% dari angkatan kerja. Sementara di level pemerintahan tinggi, kita justru menyaksikan fenomena politik absurd: lebih dari 30 wakil menteri (wamen) merangkap jabatan komisaris di BUMN, meski Mahkamah Konstitusi telah menegaskan larangan terhadap praktik ini.
Saat rakyat muda berdesak mencari pekerjaan yang nyaris tak ada, wakil-wakil negara justru sibuk mengokohkan kursi ganda: satu kursi di pemerintahan, satu lagi di dewan komisaris. Bukannya mengejar tanggung jawab untuk menekan angka pengangguran, mereka asyik menghitung dividen dan remunerasi. Ini bukan soal tindakan hukum atau etik ini soal prioritas moral yang tergelincir.
Di negeri yang katanya sudah merdeka ini, ternyata tak semua yang merah-putih itu sakral. Data penduduk yang seharusnya dikunci dalam peti besi kedaulatan, disegel dengan janji konstitusi malah dijadikan alat tukar dalam transaksi dagang dengan Amerika Serikat. Seolah-olah 270 juta jiwa ini hanya barisan angka yang bisa dipotong-potong, dikemas, lalu dikirim seperti paket ekspor tanpa label “rahasia negara”. Pemerintah, alih-alih menjadi penjaga gerbang informasi, kini lebih mirip kasir swalayan yang menyerahkan riwayat digital rakyatnya demi diskon dagang lima persen.
Kita pun bertanya, apakah mereka benar-benar paham arti kedaulatan data, atau istilah itu hanya tinggal hiasan di podium pidato yang gemanya tak pernah sampai ke meja negosiasi? Mungkin di mata mereka, data bukan lagi pusaka, tapi sekadar daftar belanja yang bisa dinego. Dan jika itu benar, maka kita sedang tidak dijajah oleh bangsa asing, kita dijajah oleh niat sendiri yang kehilangan malu. Karena menjual data rakyat, tanpa sadar, adalah seperti menjual anak kandung demi bertahan hidup dengan bangga memeluk hasilnya, sambil menutup telinga dari jeritan masa depan.
Maka jangan heran jika rakyat mulai mengganti benderanya. Mereka bosan memanggul merah putih hanya untuk ditinggal di tengah jalan. Mereka memilih bendera bajak laut, bukan karena ingin merampok, tapi karena mereka sudah terlalu sering dirampok oleh negara sendiri.
Bendera bajak laut adalah simbol: bahwa kami sudah muak. Kami tidak lagi percaya. Kami ingin menjadi nakhoda bagi kapal kami sendiri, walau kapal itu reyot dan kecil. Setidaknya kami tahu ke mana arahnya. Jangan salahkan rakyat jika akhirnya mereka memilih dunia fiksi sebagai tempat pelarian. Sebab dunia nyata terlalu kejam untuk ditinggali.
Rezim yang represif belajarlah dari Gusdur
Ketika rakyat mengibarkan bendera bajak laut sebagai simbol protes, Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyebutnya “provokatif”, sementara Mantan Kepala BIN Budi Gunawan memberi peringatan keras seolah negeri ini nyaris tumbang oleh selembar kain. Ironis, bukan?
Sebuah bendera fiktif lahir dari semesta manga dan keresahan sosial lebih cepat dipadamkan ketimbang kebocoran data nasional atau praktik korupsi yang terang benderang.
Padahal, sejarah pernah mencatat seorang negarawan sejati, Gus Dur, yang membolehkan rakyat Papua mengibarkan benderanya sendiri berdampingan dengan Merah Putih. Bukan karena beliau lemah, tapi karena beliau kuat dalam hati dan akal, mampu membedakan simbol perlawanan dari bentuk aspirasi.
Hari ini, ketika publik bicara dengan bahasa simbol, negara justru menuduhnya makar.
Sungguh kontras zaman: dulu pemimpin mendengar jeritan, kini mereka sibuk menutup telinga sambil memaki bendera yang bahkan tak punya peluru.
Di Waduk Darma, Refleksi Kemerdekaan dalam Diam
Di tepian Waduk Darma, air mengalun tenang, seolah sedang mendengarkan kegelisahan. Sepasang muda-mudi duduk diam, memandang langit yang tak lagi secerah dulu. Di genggaman mereka, bukan bendera merah-putih, tapi segelas kopi hitam dan selembar keresahan.
“Merdeka itu apa, ya?” bisik si perempuan.
Si lelaki menghela napas. “Mungkin… ketika negara berhenti memperlakukan kita seperti angka.”
Senja pun larut. Dan di antara suara jangkrik dan gemuruh batin rakyat, sebuah harapan kecil tetap menyala: bahwa suatu hari nanti, bendera merah-putih kembali berkibar karena dicintai, bukan karena diwajibkan.
_Sela Waktu
Ageng Sutrisno

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.