Pemuda Indonesia: Banyak Gaya, Miskin Suara
SUMPAH Pemuda tinggal gema di tengah kemiskinan, pengangguran, dan demokrasi yang makin kehilangan nurani.
Di banyak tempat, aroma getir itu mudah ditemukan. Di pasar, para ibu menawar harga beras dengan suara lelah karena uang belanja tak lagi cukup. Di pinggir jalan, sarjana baru duduk di atas motor ojek daring, memandangi ijazahnya seperti selembar nostalgia. Di warung kopi, anak muda berbincang tentang peluang kerja yang tak kunjung datang. Sementara di layar televisi, pejabat tersenyum di antara proyek dan pesta.
Kita hidup dalam negeri yang kaya sumber daya, tapi miskin rasa adil. Lapangan kerja tumbuh di atas angka statistik, bukan di kehidupan nyata. Dan di antara semua kesenjangan itu, generasi muda perlahan memilih diam. Bukan karena bodoh, tapi karena sudah terlalu sering dikecewakan atau karena memang tidak punya keberanian untuk bersuara.
Mereka dulu bersumpah dengan dada bergetar, menyebut “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa” bukan sebagai slogan, melainkan tekad yang mengguncang sejarah.
Kini, di negeri yang sama, sumpah itu tinggal gema di dinding sekolah dibacakan tergesa, difoto secukupnya, diunggah di story sosial media lalu dilupakan di antara jeda notifikasi.
Kita hidup di zaman di mana scroll lebih panjang dari ingatan, dan kemerdekaan terasa seperti hadiah yang tak lagi disyukuri, karena kita tak pernah benar-benar tahu betapa sulit dulu memperjuangkannya.
Generasi muda kini dihadapkan pada kenyataan getir: politik tak lagi dilihat sebagai ruang juang,
melainkan pasar transaksi kepentingan.
Di layar kaca, wajah-wajah yang dulu berjanji melayani, kini sibuk menimbang untung. Di ruang rapat, kebijakan disusun bukan berdasarkan kebutuhan rakyat, melainkan kebutuhan persekongkolan yang kuat.
Anggaran daerah jadi kue bancakan, dibagi rata antara kepentingan partai dan perut oligarki. Sementara sekolah rusak, tenaga kesehatan kekurangan alat, dan anak-anak di pelosok masih berjalan jauh tanpa alas kaki.
Namun siapa yang bersuara? Anak muda memilih diam, memilih “netral”, padahal di dunia politik, netralitas berarti menyerahkan panggung pada yang culas.
Kita menertawakan politik di warung kopi, tapi tak hadir di bilik suara.
Kita memuja tokoh di media sosial, tapi tak membaca apa pun selain caption dan komentar sosial media. Dan diam-diam, di balik ketidakterlibatan itu, lahirlah sebuah tatanan baru: demokrasi tanpa nurani.
Karena saat kaum muda berhenti membaca, para elite pun berhenti bekerja.
Saat kaum muda berhenti bersuara, yang berkuasa pun lupa bercermin di muka.
Dan saat bangsa kehilangan rasa malu, ia kehilangan masa depan, bukan hanya waktu.
Sumpah Pemuda seharusnya bukan nostalgia, melainkan cermin yang menampar kita hari ini.
Apakah kita masih punya keberanian yang sama? Atau kita hanya pewaris slogan, bukan pewaris semangat?
Kita boleh muak, boleh lelah, boleh sinis pada politik yang busuk, tapi jangan pernah berhenti peduli.
Sebab sejarah tak pernah ditulis oleh mereka yang diam.
Kalau pemuda memilih apatis, maka negeri ini akan terus disetir oleh mereka yang lapar kuasa.
Dan bila hari itu tiba, Sumpah Pemuda tinggal ritual tahunan belaka. Api semangat tak lagi membakar, hanya menyisakan asap penyesalan yang perlahan menghilang di antara generasi yang lupa untuk bermimpi tentang masa depan.
Malam makin larut. Di luar sana, warung kopi hampir tutup. Seorang anak muda menghitung sisa uang rokok sambil menatap ke jalan yang sepi. Ia memikirkan kaya instan namun lupa rasanya berjuang. Ia membayangkan hidup enak namun tak mengerti lelahnya mendidik seorang anak.
Dari radio tua di pojok ruangan, terdengar lagu perjuangan sayup, tak selesai. Di rumah petak ujung gang dengan bilik reot, seorang ayah memeluk anaknya yang lapar sambil berbisik, “Besok kita coba lagi nak.”
Dan di tengah semua kegetiran hidup itu, ada satu pertanyaan yang menggantung di udara:
Apakah benar pemuda kita hanya banyak gaya namun miskin suara?
Ageng Sutrisno
Penulis Sela Waktu, rubrik mingguan reflektif di inilahkuningan.com
Menulis tentang kehidupan, kepemimpinan, dan nurani yang mulai jarang terdengar.

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.