PAGI INI, Waduk Darma tenang seperti lembar buku yang baru dibuka. Uap tipis menari di atas permukaan air, burung-burung kecil menembus kabut, dan di tanganku, secangkir kopi liberika khas tepian sagara mengepulkan aroma pekat yang mengingatkan bahwa hidup selalu menawarkan rasa pahit sekaligus hangat.

Namun, di tengah ketenangan ini, ada kabar yang mengusik. Yakni usulan melepas RSUD Linggarjati dari Kabupaten Kuningan kemudian menyerahkannya ke pengelolaan Provinsi Jawa Barat yang kian hari tak berhenti menggulir liar seperti api yang terus berkobar tanpa pasukan damkar. Menurut berita yang beredar, konon alasannya karena pelayanan kurang, dokter spesialis minim, fasilitas tak memadai dll. Namun yang menjadi ironi adalah seolah-olah jalan keluar dari semua kekusutan adalah melepasnya.

Bagi saya, ini bukan sekadar wacana teknis, tapi juga cermin dari cara kita memandang masalah. Melepas RSUD Linggarjati ke pengelolaan Provinsi Jawa Barat bukan sekadar kebijakan teknis. Itu seperti membubuhkan stempel besar di halaman muka pemimpin kita : Bupati Kuningan Menyerah, Tidak Sanggup & Gagal.

Seolah di tengah badai, nakhoda kapal ini menyerah, membiarkan kemudi diambil orang lain. Padahal, jabatan itu bukan sekadar gelar, tapi amanah untuk bertahan, mencari cara, dan memimpin sampai badai reda.

Potong kuku bukan tanganya

Mari kita mulai dari sebuah adagium umum. Jika kuku yang kotor, potong kukunya bukan tanganya. Melepas aset daerah yang penuh cita – cita luhur peninggalan zaman alm Bupati Aang Hamid Suganda adalah sebuah ide kerdil dan konyol. Pemerintah pada masanya dahulu kala mendirikan RSUD Linggarjati ini dengan penuh keringat dan hasil pemikiran luhur. Bukan hasil sulap abrakadabra yang ujug-ujug berdiri.

RSUD ini merupakan hasil perhitungan yang matang dari studi kelayakan yang telah dilakukan dengan pelbagai aspek seperti : Environment aspect: Dampak pelaksanaan proyek terhadap lingkungan; Financial aspect: Biaya operasional dan modal untuk mendukung proyek; Legal aspect: Pengecekan legalitas dalam dokumen pelaksanaan proyek; Management & organization: Kualitas manajemen dan penanggung jawab proyek; Market aspect: Hal-hal terkait supply dan demand; Social economy: Dampak dari proyek di sektor sosial dan ekonomi; Technique aspect: Hal-hal teknis, seperti tools, simulasi, studi sumber daya, dan lainnya.

Seluruh hasil penilaian dari feasibility study tersebut lahirlah rumah sakit yang menyandang nama kaya akan sejarah bernama RSUD Linggarjati. Ketika ditengah jalan ada masalah mari selesaikan bukan menyerahkan.

Pembenahan Internal

Pembenahan internal harus menjadi langkah pertama. Rumah sakit itu ibarat rumah sendiri; ketika atap bocor dan lantai retak, kita perbaiki, bukan dijual ke tetangga dengan dalih “dia lebih mampu”. Pelepasan aset juga merugikan Pemda. RSUD Linggarjati bukan sekadar bangunan dan alat medis; ia adalah aset strategis dan simbol kemandirian daerah. Menyerahkannya berarti memotong satu tangan sendiri, berharap tangan lain menggantikan tanpa kehilangan rasa.

Tata Kelola

Jika masalah utamanya adalah tata kelola manajemen, jalan yang bijak bukan melepas aset, melainkan evaluasi dan optimaliasi status Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang dimiliki RSUD Linggarjati. Status ini memberi keleluasaan yang seharusnya menjadi senjata: kebebasan mengatur keuangan sendiri tanpa terjebak belenggu birokrasi, otonomi penuh dalam merekrut dan mengelola sumber daya manusia, kemampuan merespons cepat kebutuhan masyarakat, hingga efisiensi yang lahir dari keputusan yang tidak berlarut-larut.

Dengan fleksibilitas ini, rumah sakit dapat bergerak lincah seperti perahu kecil yang bisa segera berbelok saat ombak datang. Bahkan, peluang bisa diperluas melalui kerja sama strategis dengan manajemen rumah sakit lain yang sudah terbukti unggul. Bertukar sistem, berbagi sumber daya, dan saling memperkuat. Sehingga RSUD Linggarjati tak hanya bertahan, tapi juga berkembang tanpa kehilangan jati diri sebagai milik Kabupaten Kuningan.

Layanan Publik

Jika persoalannya terletak pada pelayanan publik, maka yang dibutuhkan bukan pelepasan aset, melainkan perombakan menyeluruh pada cara rumah sakit ini menyambut dan merawat manusia. RSUD Linggarjati perlu berdiri bukan hanya sebagai bangunan medis, tapi sebagai rumah yang setiap pintunya terbuka dengan hangat, di mana pasien merasa diterima, bukan diadili.

Langkah awal bisa dimulai dari pemetaan dan standarisasi layanan yang jelas, dilanjutkan dengan pelatihan service excellent bagi seluruh petugas yang mengajarkan bahwa senyum tulus, tatapan penuh empati, dan komunikasi yang santun adalah obat pertama yang harus diberikan sebelum resep dokter.

Digitalisasi sistem antrean, transparansi jadwal dokter, dan mekanisme umpan balik cepat akan memperkuat kepercayaan publik. Dan di atas segalanya, budaya pelayanan harus dipimpin dari pucuk: direktur hingga kepala unit turun langsung, memberi teladan, dan memastikan bahwa setiap orang di RSUD Linggarjati memahami, bahwa melayani adalah kehormatan, bukan beban.

Fasilitas dan dokter spesialis

Jika masalahnya adalah fasilitas yang kurang, maka langkah pertama adalah melakukan audit menyeluruh: mana alat yang wajib tersedia, mana yang harus segera diganti, dan mana yang perlu ditambahkan untuk mengejar ketertinggalan. Dana bisa datang dari DAK Kesehatan, APBD, atau kemitraan dengan pihak swasta yang bersedia berbagi investasi demi alat-alat modern seperti CT-Scan atau MRI. Jangan lupa pengadaan alat – alat ini bukan dijadikan proyek bancakan sehingga kualitasnya buruk, melainkan harus efektif dan efisien.

Sementara itu, kekurangan dokter spesialis bukan alasan untuk menyerah, tapi panggilan untuk bergerak. RSUD Linggarjati bisa menjalin kerja sama dengan fakultas kedokteran dan rumah sakit pendidikan, menghadirkan program rotasi atau magang panjang. Insentif daerah mulai dari tunjangan kompetitif, hingga rumah dinas dapat menjadi magnet bagi para spesialis. Bahkan, program visiting doctor atau telemedisin bisa menjadi jembatan, memastikan pasien tetap mendapat penanganan ahli meski jarak memisahkan. Karena rumah sakit, seperti halnya Waduk Darma, tak boleh hanya indah dipandang; ia harus menghidupi, melayani, dan menyembuhkan siapa saja yang datang, tanpa menunggu badai reda.

Belajar dari RS Swasta di sekitar

Belajar itu tak selalu harus pergi jauh; kadang, cermin terbaik justru ada di halaman sendiri. Di Kuningan, kita punya contoh nyata bagaimana rumah sakit bisa tumbuh, beradaptasi, dan dipercaya masyarakat. RS Permata, misalnya, membangun reputasi dengan layanan yang cepat dan responsif mereka mengerti bahwa waktu pasien adalah nyawa, bukan sekadar angka antrean. Rumah sakit yang baru berdiri ini sudah bisa menjadi salah satu top of mind rumah sakit di Kuningan. RS Sekar Kamulyan menunjukkan bagaimana layanan yang tidak tebang pilih baik pasien BPJS maupun pasiem umum mampu memberi rasa aman bagi pasien dan keluarga. Sementara RS Juanda mengajarkan bahwa keberhasilan juga lahir dari hubungan harmonis antara manajemen, tenaga medis, dan pasien mereka menjadikan komunikasi sebagai bagian dari terapi.

Dari ketiganya, kita belajar bahwa kualitas pelayanan, fasilitas yang terawat nan memadai, dan tenaga medis yang profesional bukanlah hasil dari pelepasan tanggung jawab, melainkan buah dari manajemen yang berani, kepemimpinan yang mau turun tangan, dan strategi yang konsisten.

Jika RSUD Linggarjati mau mengambil pelajaran ini, ia bisa menjadi rumah sakit yang membanggakan Kuningan tanpa harus menanggalkan bendera daerahnya sendiri. Karena keberhasilan, seperti kesehatan, dibangun dari kebiasaan yang dirawat setiap hari, bukan dari langkah instan melepas beban ke orang lain.

Cepu Partai Politik ?

Politik daerah sering kali seperti papan catur: langkahnya tak selalu terlihat, tapi tujuannya bisa mengubah seluruh permainan. Bupati Dian Rahmat Yanuar berdiri di atas panggung yang dibangun oleh Partai Golkar, Gerindra, NasDem, dan PKS—partai-partai pengusung yang seharusnya menjadi pagar, memberi dukungan penuh ketika gelombang persoalan datang.

Namun, yang terdengar justru suara lantang dari PDIP, partai yang bukan pengusung, menyerukan agar RSUD Linggarjati tidak dilepaskan ke provinsi. Ironisnya, barisan yang seharusnya berdiri di samping bupati justru terkesan sunyi bahkan memberi rekomendasi yang seperti menjebak, hal ini seakan-akan membiarkan isu ini berkembang tanpa arah yang merugikan pemimpin yang mereka usung.

Di titik ini, sulit untuk tidak bertanya: apakah ini sekadar kelalaian politik, atau memang sebuah jebakan yang disusun rapi agar Bupati Dian terlihat lemah dan tak mampu mengurus rumah sakit daerahnya sendiri? Sebab, jika narasi pelepasan RSUD Linggarjati terus bergulir tanpa pembelaan dari partai pengusung, publik bisa dengan mudah menelan kesimpulan bahwa sang bupati kehilangan kendali. Dan dalam politik, persepsi sering kali lebih mematikan daripada fakta.

Kopi liberika di hadapan saya mulai mendingin. Di luar sana, matahari perlahan menyingkap warna biru di balik kabut Waduk Darma. Rasanya, kita pun perlu melakukan hal yang sama: menyingkap akar masalah, membenahi dari dalam, dan mengembalikan martabat layanan kesehatan Kuningan.

Karena, melepas bukanlah solusi. Kadang, yang kita perlukan hanyalah duduk sebentar, menyeruput pahitnya kenyataan, lalu bangkit dengan tekad baru untuk menatap masa depan. Pertanyaan berikutnya adalah, Setelah membaca tulisan ini dan melihat fakta yang beredar apakah benar pelepasan RSUD Linggarjati merupakan strategi halus menjatuhkan Bupati?

Ageng Sutrisno

Sela Waktu