Ketika Suara Warga Jadi Titik Balik, Refleksi 2 Kasus Viral Di Kuningan
KUNINGAN bukan sekadar daerah yang tenang, hijau, dan dikenal ramah. Dalam beberapa pekan terakhir, kabupaten ini menjadi panggung nyata dari dua peristiwa yang menyentuh nadi publik.
Satu tentang identitas simbolik, satu lagi tentang nyawa yang tak tertolong.
Yang pertama: rencana pergantian tagline “Kuningan Beu” menjadi “Kuningan Moyan”.
Satu wacana sederhana di meja birokrasi, tapi bergulir menjadi bola salju setelah menyentuh ruang publik. Warga ramai-ramai menolak. Bukan karena frasa “moyan” buruk, melainkan karena “Beu” sudah kadung tumbuh—jadi semacam roh branding yang lahir dari bawah. Ada unsur lokalitas, keunikan, dan keakraban di sana.
Perubahan yang bersifat instruksional, kurang dialog terbuka, dan tanpa partisipasi dari yang paling terdampak—yakni warga—adalah kesalahan yang hari ini disadari dengan cepat. Tekanan publik lewat media sosial, status, thread, meme, hingga video, membuat pihak terkait berhenti, diam, dan mendengarkan. Satu hal yang patut disyukuri.
Lalu yang kedua, jauh lebih pilu: kasus bayi yang meninggal di RSUD Linggajati.
Sebuah nyawa kecil yang pergi terlalu cepat. Keluarga bersuara, publik menggema. Ada desakan, ada air mata, ada tanya: “Apakah rumah sakit negeri, yang harusnya jadi tumpuan, benar-benar memberi pelayanan?”
Kemarahan publik bukan sekadar karena tragedi, tapi karena rasa tak tahu, tak dijelaskan, dan tak dihargai. Namun yang menarik, respons cepat pun akhirnya datang. Setelah pengacara kondang Hotman Paris bersuara lantang dengan nada geram, manajemen RSUD dan Bupati memberikan keterangan terbuka, dan kasus ini mulai ditangani secara lebih serius dengan membentuk tim profesional dari pelbagai pihak yang kompeten di bidangnya. Hasilnya, direktur RSUD Linggajati dinonaktifkan sementara. Sekali lagi, hal ini berkat kekuatan suara publik.
Dua kasus ini memang sangat berbeda—yang satu menyentuh rasa bangga, yang satu menyentuh rasa duka. Tapi keduanya sama-sama memperlihatkan satu hal penting: kita sedang memasuki era baru.
Era di mana warga tak lagi diam. Era di mana ketertutupan dan arogansi birokrasi bisa goyah hanya dengan unggahan satu akun kecil, asal suara itu tulus, benar, dan terus digemakan bersama.
Belajar dari yang lain
Contoh yang juga menarik datang dari dunia olahraga. Pada tahun 2017, klub sepak bola Juventus yang dikenal luas dengan simbol ikonik kuda zebra dan perisai hitam-putih—mengganti logonya menjadi desain minimalis dua huruf “J” yang sangat sederhana. Langkah ini dimaksudkan sebagai bagian dari rebranding besar-besaran demi pasar global.
Namun alih-alih mendapat sambutan, logo baru ini justru menuai gelombang kecaman dari para fans dan publik. Meme berseliweran, forum diskusi panas, komentar penuh kekecewaan muncul di mana-mana. Banyak yang merasa logo itu kehilangan “jiwa” Juventus yang selama ini menjadi simbol kebanggaan dan sejarah klub. Bahkan hingga hari ini, sebagian fans masih menolak logo baru itu secara emosional.
Meski akhirnya tetap digunakan, rebranding ini menunjukkan satu pelajaran penting:
Identitas bukan sekadar bentuk visual. Ia adalah rasa kepemilikan. Dan ketika rasa itu tidak dilibatkan, yang muncul bukan sekadar kritik—tapi kehilangan kepercayaan.
Refleksi diri
Kita tidak sedang merayakan viralitas. Tapi kita sedang menyadari bahwa hari ini, media sosial bukan lagi sekadar tempat berbagi kesenangan, melainkan alat kontrol kekuasaan, koreksi kebijakan, dan penentu arah narasi. Dan ini harus dijaga. Agar tak sekadar jadi kemarahan sesaat, tapi menjadi budaya sadar, budaya care, budaya melek informasi yang elegan.
Karena bila suara warga bisa menjatuhkan, ia juga bisa membangun. Dan bila hari ini dua kasus ini bisa menjadi pelajaran, maka jangan lagi menunggu viral untuk menjadi transparan.
Jangan lagi menunggu ribut untuk mau terbuka.
Sebab sesungguhnya, rakyat tak ingin mencaci. Mereka hanya ingin dimengerti.
_Sela Waktu
Ageng Sutrisno

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.