PERUMDA Aneka Usaha atau dulu dikenal PDAU. Keadaanya hari ini ibarat tubuh yang sedang sakit. Nafasnya terengah-engah, darah segarnya kian menipis, dan tulang punggungnya rapuh. Bukan karena usia, bukan pula karena takdir, melainkan karena cara ia dirawat. Badan Usaha Milik Daerah seharusnya menjadi mesin ekonomi daerah, sayangnya, sering terjebak menjadi pasien kronis yang lebih banyak menunggu suntikan dana daripada menghasilkan nilai tambah.

Gejala yang Terlihat

  1. Tata Kelola Manajemen yang Kurang apik

Problem pertama ini ibarat rumah besar yang penuh penghuni, tetapi tak punya arsitektur jelas. Struktur administratif tidak terarah, kursi-kursi jabatan terisi, namun yang bekerja sungguh hanya segelintir orang. Banyak posisi hadir lebih karena kebutuhan “pembagian peran” daripada efektivitas organisasi. Akibatnya, energi habis untuk pencitraan, rapat, disposisi, dan tanda tangan berlapis, bukan untuk mencipta terobosan. Di atas kertas, tata kelola itu ada; tetapi dalam praktik, ia lebih mirip peta kusut tanpa kompas. Ketika manajemen hanya jadi rutinitas birokratis, kecepatan dan ketangkasan yang dibutuhkan oleh bisnis daerah hilang begitu saja.

  1. Unit Usaha yang Stagnan

Alih-alih tumbuh, banyak unit usaha daerah berjalan seperti jam tua: berdetak, tapi tanpa arah baru. Produk dan layanan yang ditawarkan jarang mengalami pembaruan; strategi pemasaran hanya sebatas formalitas—sekadar brosur, baliho, atau postingan seadanya di media sosial. Padahal, dunia luar sudah bergerak dengan marketing digital, storytelling brand, dan kolaborasi kreatif. Stagnasi ini membuat potensi emas yang seharusnya bisa bersinar, malah membatu. Yang lebih menyedihkan, para pengelola sering bersembunyi di balik alasan “keterbatasan anggaran” atau “aturan kepegawaian”, padahal inti masalahnya adalah keberanian untuk melakukan lompatan.

  1. Transparansi yang Lemah

Keterbukaan seolah menjadi barang mewah. Laporan keuangan dan capaian kinerja jarang menyentuh publik, bahkan sesama pemangku kepentingan sering dibuat seperti “orang luar”. Publik hanya tahu versi seremonial: potong pita, konferensi pers, atau pidato. Namun, angka realisasi, untung-rugi, atau bahkan proyeksi usaha jarang sekali dipublikasikan dengan jernih. Transparansi yang lemah ini tidak hanya menumbuhkan kecurigaan, tetapi juga memutus peluang partisipasi masyarakat untuk ikut mendorong perbaikan. Sebab tanpa informasi yang terbuka, publik kehilangan basis data untuk menilai sekaligus memberi masukan.

  1. Politik Mengalahkan Profesionalisme

Inilah penyakit lama yang terus diwariskan. Banyak keputusan penting bukan lahir dari analisis bisnis, melainkan dari kalkulasi politik. Siapa yang duduk di kursi manajemen sering ditentukan oleh “siapa dekat dengan siapa”, bukan “siapa ahli di bidang apa”. Akibatnya, orientasi bisnis daerah kehilangan ruhnya. Alih-alih mengejar profitabilitas dan keberlanjutan usaha, energi organisasi justru diarahkan untuk “mengakomodasi kepentingan”. Hasilnya bisa ditebak: unit usaha daerah terjebak dalam lingkaran setia kawan politik, tetapi jauh dari jiwa entrepreneurship yang seharusnya menjadi nadi.

Resep Perubahan

Jika ingin sembuh, PDAU tidak cukup diberi vitamin sesaat berupa kucuran modal dari pemerintah daerah. Suntikan dana tanpa reformasi hanya akan seperti menambal ban bocor: sebentar menggelembung, lalu kempes lagi. PDAU butuh terapi serius, disiplin, dan konsisten.

Pertama, perampingan SDM dengan fokus kualitas. Jangan terjebak pada jumlah, tapi pada kinerja. Perusahaan air minum daerah di beberapa kota kecil bisa bertahan sehat meski dengan karyawan terbatas karena setiap orang jelas fungsinya, jelas targetnya, dan dihargai berdasar performa, bukan kedekatan.

Kedua, fokus pada core business. PDAU harus berani realistis: pilih hanya dua atau tiga unit usaha paling potensial. Lihatlah bagaimana BUMDes sukses di banyak desa, misalnya di Ponggok (Jawa Tengah) yang fokus mengelola wisata air hingga jadi ikon nasional. Tidak semua unit harus dipaksakan hidup—yang hanya membebani, lebih baik ditutup.

Ketiga, transparansi total. Laporan keuangan dan kinerja bukan hanya untuk internal, tapi wajib dipublikasikan secara berkala agar publik bisa ikut mengawasi. PDAM di Surabaya, misalnya, rutin mengumumkan laporan capaian dan rencana kerja melalui media resmi. Praktik sederhana ini membangun kepercayaan publik dan menekan potensi penyimpangan.

Keempat, profesionalisasi manajemen. Sudah saatnya penunjukan direktur dan manajer didasarkan pada kompetensi, bukan politik. Lihat contoh PLN Nusantara Power (dulu PJB), yang menggandeng profesional energi untuk mengelola pembangkit. Ketika dikelola tangan yang tepat, perusahaan daerah bisa bersaing di level nasional, bahkan internasional.

Kelima, bangun kemitraan strategis. PDAU tidak bisa jalan sendirian. Kolaborasi dengan swasta, akademisi, dan komunitas bisa membuka peluang baru. Lihat Bandung dengan Bandung Creative Hub, yang melibatkan komunitas kreatif, pemerintah, dan kampus untuk menggerakkan ekonomi berbasis ide. Model semacam ini bisa diadaptasi, sesuai potensi lokal Kuningan.

Keenam, butuh pemimpin yang visioner dan kreatif. PDAU itu ibarat kapal besar yang sudah lama terombang-ambing di pelabuhan, mesinnya berkarat, awaknya bingung mau kemana, tapi setiap tahun tetap diajukan biaya perawatan. Masalahnya bukan hanya di mesin tua, tapi di nakhoda yang tak berani menggambar peta baru.

Pemimpin PDAU ke depan bukan cukup yang pintar bikin laporan atau jago basa-basi di rapat DPRD. Ia harus visioner—punya pandangan jauh ke depan—dan kreatif—mampu mengubah keterbatasan menjadi peluang. Visioner itu artinya bisa membaca masa depan, bukan sekadar membaca teks sambutan. Kreatif itu artinya bisa menciptakan produk atau layanan baru yang relevan, bukan sekadar menambah spanduk ucapan selamat.

Kalau tidak, PDAU akan tetap jadi lembaga yang hidup segan, mati pun ditopang. Pemimpin visioner dan kreatif adalah obat terakhir sebelum rakyat benar-benar kehilangan sabar dan bertanya: “Kenapa harus ada PDAU kalau tidak ada manfaatnya?”

Jika enam resep ini dijalankan secara konsisten, PDAU tidak hanya bisa bangkit dari sakitnya, tapi juga menjadi contoh baru bagaimana BUMD bisa benar-benar jadi motor penggerak ekonomi daerah bukan sekadar pasien kronis yang ingin terus disuntik APBD.

Harapan untuk Bangkit

PDAU bisa bangkit jika ada keberanian untuk menelan obat pahit: efisiensi, transparansi, dan profesionalisme. Tanpa itu, PDAU hanya akan terus menjadi pasien yang bergantung pada APBD—menguras energi fiskal daerah tanpa memberi nilai tambah nyata. Dan harus diakui, di balik sakitnya PDAU, ada penyakit politik yang lebih dalam: intervensi kekuasaan, kepentingan jangka pendek, serta kompromi yang kerap menukar profesionalisme dengan kedekatan.

PDAU seharusnya berdiri sebagai motor ekonomi daerah, tapi terlalu sering dijadikan sekadar perpanjangan tangan kekuasaan, arena titipan, atau panggung pencitraan. Inilah mengapa ia rapuh: karena pondasinya bukan meritokrasi, melainkan politik balas budi.

Pada akhirnya, PDAU bukan sekadar perusahaan. Ia adalah cermin bagaimana sebuah daerah mengelola potensi, sumber daya, dan masa depan. Jika PDAU mampu pulih, itu bukan hanya kabar baik bagi ekonomi, melainkan juga pertanda ada keberanian politik untuk merobek pola lama: mengakhiri praktik pragmatisme, membuka ruang bagi profesional, dan menempatkan kepentingan rakyat di atas kalkulasi elektoral. Sebab kalau tidak, PDAU hanya akan menjadi simbol kegagalan kolektif: perusahaan yang mati muda karena terlalu banyak tangan yang ingin ikut mencicipi, tapi terlalu sedikit yang sungguh mau merawat.***

_Sela Waktu Vol 1 Seri PDAU Darma Putra Kertaraharja Kuningan
Ageng Sutrisno