Menerka Akhir Kisah Sekda Kuningan
Beranda Tujuh Belasan
Setiap tujuh belas Agustus, bendera merah putih berkibar gagah di langit yang masih ditutup awan hutang dan pengangguran. Di jalan-jalan kecil, anak-anak lomba tarik tambang yang melambangkan perjuangan, sementara di panggung politik, mereka juga berlomba untuk tarik menarik kepentingan karena tambang sekarang sebagian sudah milik ormas keagamaan.
Merdeka katanya berarti bebas, tapi kita masih dihimpit oleh harga beras, lapangan kerja katanya 19 juta, tapi nyatanya pengangguran yang berjuta-juta. Merdeka seharusnya menyalakan harapan, tapi kadang ia hanya jadi upacara tujuh belasan: kibar bendera, pekik merdeka, lalu kembali tenggelam dalam antrean panjang bantuan kemanusiaan.
Prahara Sekda
Di setiap periode pemerintahan daerah, jabatan Sekretaris Daerah (Sekda) selalu menjadi posisi strategis yang menyedot perhatian publik. Bukan semata karena posisinya sebagai “mesin birokrasi”, melainkan karena Sekda ibarat nahkoda administratif yang menentukan ritme kerja pemerintahan. Kini, mekanisme open bidding Sekda Kuningan kembali digulirkan dengan dalih mencari yang terbaik. Namun, pertanyaan yang tak kalah penting: apakah open bidding layak dilakukan kembali, benar-benar terbuka, atau sekadar formalitas yang sudah bisa ditebak ujungnya?
Secara normatif, open bidding bertujuan mulia: membuka ruang bagi kompetisi sehat, menempatkan orang terbaik di kursi strategis, dan mendorong profesionalisme birokrasi. Panitia seleksi biasanya melibatkan unsur akademisi, birokrat senior, hingga tokoh masyarakat. Semua tahapan seperti administrasi, uji kompetensi, rekam jejak, hingga wawancara didesain untuk menghasilkan Sekda yang layak sekaligus visioner.
Namun, dalam praktiknya, publik sering menyimpan keraguan. Ada bayangan bahwa hasil akhir tetap bergantung pada restu politik kepala daerah, bukan sepenuhnya dari kualitas peserta seleksi. Apalagi, Sekda bukan jabatan netral semata, melainkan simpul yang menghubungkan politik dan birokrasi. Dengan kata lain, walau open bidding berjalan sesuai aturan, publik bisa saja melihatnya hanya sebagai panggung prosedural, sementara “pilihan sebenarnya” sudah terkunci sejak awal.
Komunikasi Publik
Dalam narasi publik yang beredar saat ini di Kuningan. Kubu telah terbagi menjadi dua, ada yang pro ada juga yang kontra. Namun sebelum menelaah lebih lanjut argumen dari keduanya kita patut mengakui secara gentle bahwa ada tahapan penting yang dilewat oleh pemerintah yang sengaja tidak dijelaskan gamblang kepada publik. Padahal, masyarakat menunggu penjelasan yang rasional dan bijak terkait kebijakan pengulangan open bidding sekda yang akhirnya nampak seperti kurang bijak.
Andai saja pemerintah, tidak melulu lewat kepala daerah. Bisa wakil bupati, kabag hukum, maupun bagian humas menyampaikan urgensi mengapa proses ini harus dilakukan kembali. Bukan semata–mata dengan alasan masih berproses, mencari yang terbaik ataupun sudah mendapat restu dari kemendagri. Bukan itu, sama sekali bukan. Publik mengharapkan alasan subtansial sebagai bentuk pertanggung jawaban moral dan material pemerintah yang menjalankan programnya menggunakan uang rakyat.
Ada beberapa analisa di sini. Pertama, pemerintah kaku dalam membahasakan alasan yang sekiranya diterima publik; atau memang ini sengaja dikaburkan karena ada yang ditutupi. Alasan ini jika dibiarkan akan menjadi trademark atau ciri khas pemerintah saat ini yang kurang baik jika sering dilakukan. Tidak penting dari partai mana, organisasi mana atau pun pengamat siapa yang memberikan dukungan akan pengulangan proses ini. Yang publik butuhkan adalah penyampaian alasan yang bijak, rasional dan elegan dari pemerintah.
Pro dan kontra
Opini yang mendukung pengulangan proses open bidding sekda kuningan ini menyampaikan beberapa hal seperti proses yang dulu terkesan tergesa-gesa; sekarang sudah mendapat izin kemendagri; tidak boros karena ini menggunakan anggaran baru; ini hak bupati terpilih dll. Memang jika kita merunut riwayatnya, ada beberapa kejanggalan yang terjadi ketika dulu proses ini dilakukan. PJ Bupati, Bpk. Iip Hidajat tiba-tiba ditarik pemerintah pusat, pengumuman yang terkesan disegerakan dan isu kepentingan lainya. Meski tidak ada indikasi melanggar hukum namun rasanya kurang bijak juga jika Sekda yang akan berdampingan dengan kepala daerah merupakan hasil yang prosesnya tidak melibatkan bupati terpilih. Idealnya tidak demikian.
Sedangkan opini yang kontra terhadap pemerintah menganggap proses ini menghamburkan uang, tidak transparan, memilih sekda berdasarkan selera penguasa, tidak mengedepankan meritokrasi dll. Andai sejak awal pemerintah mampu menjelaskan urgensi pengulangan ini. Akan berbeda cerita jika dilakukan dengan cermat sejak awal. Jadi tahapanya adalah narasi pemerintah dulu yang menjelaskan dengan gamblang baru konter narasi yang mendukung akan turut menguatkan. Bukan sebaliknya.
Restu Dewan
Dengan minim suaranya anggota dewan akan proses pengulangan Open Bidding Sekda Kuningan ini. Kita sama-sama bisa membaca bahwa ancaran sudah tuntas dengan penguasa. Mereka yang seharusnya turut mencerdaskan sebagai penyeimbang. Malah cenderung diam. Ini adalah pertanda suara rakyat yang diwakili suara anggota dewan sudah selesai. Mereka sudah merestui apa yang akan dilakukan kedepan.
Diamnya dewan bukanlah tentang ketidakpedulian; ia justru menjadi bahasa paling keras bahwa suara rakyat yang mestinya mereka bawa sudah selesai di ruang rapat, bahkan mungkin sudah habis ditukar di meja kesepakatan. Ketika mereka tidak lagi bersuara, itu berarti jalan pemerintah ke depan sudah mendapat restu, entah dengan suka rela atau dengan kompromi.
Hak Kepala Daerah
Open bidding Sekda, meski mengalami pengulangan, tetaplah sebuah hak prerogatif yang melekat pada seorang bupati. Ia adalah pemegang kendali tertinggi dalam roda pemerintahan daerah, sehingga keputusan strategis yang berkaitan dengan siapa yang akan menjadi Sekretaris Daerah—posisi kunci dalam tata kelola birokrasi—tidak bisa dilepaskan dari ruang prerogatif tersebut. Hak itu bukan hadir tanpa dasar; ia lahir dari mandat konstitusi, diperkuat oleh regulasi birokrasi, dan dijalankan dalam kerangka tata aturan yang berlaku.
Perlu dipahami, pengulangan open bidding bukanlah sebuah penyimpangan, melainkan bagian dari mekanisme yang justru menjamin kualitas dan legitimasi hasil seleksi. Jika dalam proses awal terdapat pertimbangan yang membuat hasilnya belum memenuhi ekspektasi visi dan arah kepemimpinan daerah, maka mengulang adalah langkah wajar yang sahih secara hukum maupun etika pemerintahan. Restu Kemendagri terhadap keputusan ini menjadi bukti kuat bahwa apa yang dilakukan sejalan dengan tata aturan dan tidak menyalahi prinsip-prinsip birokrasi.
Beberapa ahli hukum yang coba dimintai pendapat pribadi juga menegaskan bahwa pengulangan open bidding tidak dapat dipandang sebagai bentuk intervensi sepihak, melainkan bagian dari prosedur yang tersedia dalam rangka menjaga agar pejabat yang dipilih benar-benar memenuhi syarat profesionalitas, kompetensi, serta kesesuaian visi dengan kepala daerah. Dengan kata lain, langkah ini justru menunjukkan kehati-hatian seorang bupati dalam menentukan siapa yang akan menjadi mitra strategisnya dalam mengelola birokrasi, mengawal program, dan memastikan stabilitas jalannya pemerintahan daerah. Di sinilah letak pentingnya ruang prerogatif itu—bukan sebagai simbol kekuasaan absolut, melainkan instrumen untuk memastikan birokrasi daerah berdiri pada fondasi yang kokoh.
Akhir Cerita
Narasi publik yang mewarnai jagat maya kuningan pekan ini luar biasa cukup menguras nalar dan logika. Tugas kita adalah biasakan diri untuk saring sebelum sharing, membaca dengan bijak sebelum memihak.
Pada akhirnya, kisah tentang Sekda Kuningan ke depan sudah bisa diterka. Ia akan jatuh kepada sosok strategis yang dianggap paling serasi dan selaras dengan penguasa. Karena tidak mungkin bupati memiliki bawahan yang bersebrangan. Adapun tiga kandidat sebelumnya, mungkin sebaiknya beristirahat saja. Sebab, jika peluang itu benar-benar masih terbuka bagi Bapak-Bapak bertiga, tentu tak perlu ada pengulangan agenda.
Sedangkan masukan bagi pemerintah. Salah satu tantangan terbesar bagi pemerintah hari ini bukan hanya bagaimana mengambil keputusan, tetapi juga bagaimana menjelaskannya. Publik kini jauh lebih cerdas dibanding masa lalu. Mereka tidak lagi menerima keputusan begitu saja tanpa bertanya: “Kenapa begini? Apa alasannya? Apa dampaknya?”
Maka, setiap kebijakan—sekecil apa pun—harus dilengkapi dengan narasi yang jelas, argumentasi yang runtut, serta transparansi yang dapat diuji. Tidak cukup lagi hanya berkata “ini sudah sesuai aturan” atau “ini hak prerogatif.” Publik ingin tahu mengapa keputusan diambil, apa pertimbangannya, dan bagaimana hal itu membawa manfaat.
Justru dengan kebiasaan menjelaskan inilah, pemerintah bisa menjaga kepercayaan. Sebab dalam demokrasi, trust adalah mata uang paling berharga. Sekali publik merasa ditutup-tutupi, maka akan tumbuh prasangka: ada kepentingan tersembunyi, ada permainan politik, atau bahkan ada praktik tidak sehat.
Padahal, bisa saja keputusan pemerintah murni didasari niat baik—misalnya pengulangan seleksi jabatan karena ingin mendapatkan calon terbaik, atau menimbang kesesuaian dengan kebutuhan daerah. Namun, jika tidak dijelaskan dengan bahasa yang lugas dan terbuka, niat baik itu bisa dipelintir oleh rumor, gosip, dan framing yang merugikan.
Karena itu, biasakanlah setiap kebijakan disertai penjelasan resmi yang komunikatif, bukan sekadar legal statement. Publik tidak hanya membaca peraturan, mereka juga membaca gestur dan niat. Pemerintah yang berani menjelaskan adalah pemerintah yang percaya diri bahwa keputusannya dapat dipertanggungjawabkan.
Di era keterbukaan informasi, publik bukan musuh yang harus dihindari, melainkan mitra yang harus diajak bicara. Semakin sering pemerintah menjelaskan, semakin sedikit ruang bagi kesalahpahaman. Semakin jelas argumen pemerintah, semakin sulit lawan politik membuat narasi tandingan yang menyesatkan.
Jadi, mari biasakan: setiap kebijakan dijelaskan, setiap keputusan diberi alasan, dan setiap langkah dipaparkan. Karena pada akhirnya, yang dinilai publik bukan hanya apa yang diputuskan, tetapi juga bagaimana dan mengapa keputusan itu dilahirkan.
Sela Waktu – Ageng Sutrisno

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.