INILAHKUNINGAN – Rencana mutasi jilid kedua jajaran pejabat Pemerintah Kabupaten Kuningan yang dijadwalkan berlangsung pada akhir Desember 2025 memantik perhatian luas. Agenda perombakan birokrasi yang diproyeksikan menyentuh seluruh jenjang eselon, mulai dari eselon II, III hingga IV, dinilai bukan sekadar rutinitas manajerial, melainkan bagian dari penataan kekuasaan
Pemerintahan Bupati dan Wabup.

Pengamat kebijakan daerah Kabupaten Kuningan, Sudjarwo B.A. alias Mang Ewo, menilai mutasi akhir tahun ini, harus mempertimbangkan merit sistem yang belakangan dijalankan dengan manajemen talenta.

Jangan ada potensi gerbong besar aparatur sipil negara tanpa mempertimbangkan merit sistem. Diakui, skema mutasi sebagai upaya membangun satu garis komando birokrasi yang solid di bawah kepemimpinan duet Bupati dan Wakil Bupati Dian-Tuti.

“Dalam perspektif tata kelola pemerintahan, mutasi dapat dibaca sebagai instrumen konsolidasi organisasi untuk membentuk tim kerja yang efektif dan loyal pada agenda pembangunan kepala daerah,” ujar Mang Ewo, Senin 22 Desember 2025, di sekitar Gedung DPRD Kuningan.

Menurutnya, kebutuhan akan birokrasi yang seirama dengan visi politik kepala daerah merupakan konsekuensi logis dari sistem demokrasi elektoral. Dian-Tuti lahir dari kontestasi Pilkada 27 November 2024, sehingga proses penataan jabatan tidak mungkin steril dari kepentingan politik kekuasaan.

Dalam literatur ilmu politik, kondisi ini dikenal sebagai bureaucratic realignment, yakni penyesuaian struktur birokrasi untuk mendukung stabilitas pemerintahan hasil pemilu. Fenomena serupa banyak terjadi di daerah lain pasca pergantian kepemimpinan, terutama ketika kepala daerah berupaya memastikan efektivitas implementasi kebijakan publik.

Meski demikian, Mang Ewo mengingatkan batas tipis antara konsolidasi birokrasi dan penyalahgunaan kewenangan politik. Ia menilai mutasi berisiko melenceng apabila bergeser ke arah praktik patronase, politik balas jasa, atau bahkan balas dendam politik yang mengorbankan prinsip profesionalisme ASN.

“Mutasi idealnya berangkat dari sistem merit, bukan relasi politik. Jika yang diprioritaskan kedekatan atau loyalitas semata, maka birokrasi akan terjebak dalam logika klientelisme,” tegasnya.

Sejumlah regulasi nasional, mulai dari Undang-Undang Aparatur Sipil Negara hingga kebijakan teknis Badan Kepegawaian Negara, menempatkan meritokrasi sebagai fondasi utama manajemen ASN. Prinsip tersebut menekankan kualifikasi, kompetensi, rekam jejak kinerja, serta integritas sebagai dasar pengisian jabatan struktural.

Mang Ewo menilai mutasi jilid dua ini akan menjadi ujian serius bagi komitmen politik Dian–Tuti terhadap tata kelola pemerintahan yang berkeadilan. Ia menegaskan, keberhasilan mutasi tidak diukur dari kepuasan elite, melainkan dari dampaknya terhadap kualitas pelayanan publik dan kinerja pembangunan daerah.

“Jika kabinet birokrasi hasil mutasi gagal menjawab kebutuhan masyarakat, maka kekecewaan publik tidak terhindarkan. Di titik itu, mutasi akan dipersepsikan sebagai kesalahan strategis, bukan langkah reformasi,” ujarnya.

Rencana mutasi akhir tahun kini menjadi sorotan berbagai kalangan, mulai dari internal ASN, aktor politik, hingga masyarakat sipil. Publik menunggu apakah mutasi jilid dua ini benar-benar mencerminkan politik etis berbasis kepentingan rakyat, atau sekadar konsolidasi kekuasaan yang dibungkus legitimasi administrasi pemerintahan./Bubud Sihabudin