Bahaya “Boros Umur” Siswa SD Di Cirebon, Kenali Penyebab & Solusinya!
ISTILAH ‘boros umur’ sering digunakan untuk menyebut anak kecil yang berperilaku seperti orang dewasa. Di wilayah Cirebon, fenomena ini terjadi di wilayah pedesaan dan sebagian wilayah perkotaan.
Pergaulan anak yang sudah bercampur lewat dunia digital merupakan faktor utama dari fenomena ini. Banyak dari mereka yang sudah mengenal platform digital seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Short, bahkan tidak sedikit juga dari mereka yang mengakses itu dari gadget pribadinya.
Dari faktor inilah pergaulan mereka mulai berubah. Anak-anak tidak lagi banyak berinteraksi secara langsung dengan teman sebayanya di lingkungan sekolah maupun rumah, melainkan lebih sering berkomunikasi lewat gadget dan media sosial.
Akibatnya, mereka banyak mengakses dan meniru gaya berpakaian, gaya bicara, bahkan cara berpikir orang dewasa. Ini bisa dibuktikan dengan video TikTok yang banyak beredar di media sosial.
Fenomena ini sebenarnya tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan akibat dari kelalaian pendampingan orang tua terhadap konten digital anaknya.
Kebanyakan orang tua di Cirebon masih memberikan HP kepada anak dengan alasan “biar gak rewel” atau “buat belajar online”. Namun, pengawasan terhadap isi media sosial anak hampir tidak dilakukan. Padahal, pengawasan dan keteladanan di rumah merupakan komponen utama pembentukan kepribadian anak.
Menurut Teori Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory) yang dikembangkan oleh Albert Bandura (1977), anak-anak cenderung lebih cepat meniru apa yang ia lihat, karena mereka berada di fase di mana proses belajar terjadi melalui pengamatan.
Menurut teori tersebut, perilaku anak terbentuk dari proses meniru terhadap figur yang mereka anggap menarik atau ‘keren’. Figur tersebut bukan lagi hanya dari orang tua atau guru, melainkan influencer media sosial.
Anak-anak SD kini hidup dalam budaya digital yang mengaitkan “keren” dengan tampil dewasa. Di beberapa lingkungan Cirebon, anak-anak justru diejek “kudet” (kurang update) jika tidak mengikuti tren online. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa anak-anak mulai mengikuti tren orang dewasa.
Secara tidak langsung, dunia digital menciptakan standar baru yang membuat anak-anak berperilaku di luar tahap perkembangannya. Inilah yang menjadi akar dari permasalahan fenomena ‘boros umur’ yang terjadi hingga saat ini.
Kecenderungan mereka terhadap media sosial dapat menyebabkan beberapa dampak buruk bagi perkembangan sosial dan emosional anak, diantaranya yakni; Anak menjadi lebih konsumtif terhadap gaya hidup yang mewah, kurang empati, sulit fokus dalam belajar, dan bisa kehilangan spontanitas/kreativitas yang dapat mengasah otaknya.
Berdasarkan pengalaman pribadi, beberapa guru SD di wilayah Suranenggala-Cirebon mengaku mulai kesulitan membedakan gaya bicara anak SD dan SMP. Sebagian anak bahkan mulai terbiasa berkata kasar dan membuat konten dengan pose dewasa.
Jika fenomena ini terus dibiarkan, maka proses pembentukan karakter anak akan terganggu. Beberapa guru mengeluhkan penurunan semangat belajar pada anak, dan mengaku kecenderungan narsistik pada anak semakin meningkat.
Dalam konteks pendidikan jangka panjang, ini bisa menghambat perkembangan sosial, emosional, dan moral anak-anak generasi Z dan Alpha di masa depan.
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan dan ditekankan oleh sekolah atau lingkungan keluarga untuk memperbaiki pola kebiasaan yang kurang baik pada anak, diantaranya;
- Dampingi dan batasi waktu layar anak saat memakai HP atau menonton video.
- Ajak anak berdiskusi mengenai konten yang ditonton – mana yang baik, mana yang tidak.
- Orang tua harus jadi contoh: jangan terlalu sering main HP di depan anak.
- Sertakan pelajaran tentang ‘etika bermedia sosial’ di sekolah.
- Ajak anak aktif di kegiatan nyata seperti olahraga, seni, atau kegiatan keagamaan.
- Gunakan figur lokal yang positif sebagai panutan, bukan influencer dewasa.
Selain upaya tersebut, ada juga beberapa langkah yang mulai dilakukan sekolah dan komunitas pendidikan di Cirebon yang bisa dijadikan contoh, diantaranya;
- Program “Sekolah Cerdas Digital” yang melibatkan guru dan orang tua dalam pelatihan literasi digital besar.
- Kegiatan ekstrakulikuler berbasis sosial dan budaya lokal, seperti permainan tradisional, kerajinan, atau vlog edukatif.
- Pembuatan perjanjian digital (digital contract) antara siswa, guru, dan orang tua untuk mengatur waktu penggunaan gadget.
- Kolaborasi dengan Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Cirebon dalam memantau konten dan perilaku digital anak.
Jika hal ini tidak segera disikapi dan diperbaiki bersama, fenomena ‘boros umur’ akan menjadi ancaman baru bagi karakter generasi muda Cirebon. Sudah saatnya keluarga, sekolah, dan masyarakat berkolaborasi menciptakan lingkungan digital yang sehat bagi anak-anak.
Penulis: Vina Nailatul Izzah – Mahasiswi Sastra Inggris, UIN Sunan Gunung Djati Bandung

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.