INILAHKUNINGAN- Polemik Revitalisasi Objek Wisata Waduk Darma Kabupaten Kuningan senilai Rp28 Miliar dari APBD Provinsi Jawa Barat, meruncing. Menyusul turjn tangannya Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi (Gibas) Resort Kabupaten Kuningan. Ormas Pimpina Manap Suharnaf tersebut, mendesak DPRD Kuningan ikut andil menyelesaikan persoalan itu.

“Mengingat ada polemik revitalisasi Objek Wisata Waduk Darma dari APBD Provinsi Jawa Barat akibat belum ada pelunasan pembayaran pelaksana pekerjaan terhadap mitra pelaksana, kami meminta DPRD Kuningan ikut andil dalam menyelesaikan persoalan tersebut,” pinta Ketua Gibas Resort Kuningan Manap Suharnaf, di kediamannya, Rabu (8/2/2023), kepada InilahKuningan

Dibeberkan Manap, penyebab terjadinya permasalahan proyek tersebut, salah satu sumbernya akibat penerapan denda keterlambatan pekerjaan Rp6,5 miliar oleh Dinas SDA Pemprov Jawa Barat terhadap pelaksana pekerjaan. Sehingga pelaksana pekerja tidak dapat melunasi kewajiban kepada mitra pelaksana.

“Masalah ini, justru menciptakan luka kesenjangan luar biasa. Sebab mereka tidak mendapatkan keuntungan apa-apa. Bahkan, mengalami kebangkrutan karena kebijakan penerapan denda tersebut,” tandas Manap

Alasan dasar denda oleh Dinas SDA Jabar, dikarenakan penyedia jasa mengalami keterlambatan kerja 273 hari dan melakukan adendum 7 kali. Padahal kebijakan sesuai Perpres 54 Tahun 2010, huruf a1 dan a2 ada terkait pemberian kesempatan penyelesaian pekerjaan maksimal 50 hari kalender. Jadi tidak bisa serta merta diberikan denda kepada penyedia. Harus terlebih dahulu ada penelitian dari PPK melihat dari performa dan progres pekerjaan. Apakah penyedia mampu untuk menyelesaikan pekerjaan setelah diberikan kesempatan dimaksud.

“Terkait penerapan denda sebanyak 273 hari tersebut seharusnya dapat dihindari dengan dilakukan pengendalian kontrak atas perjanjian atau kontrak antara PA/KPA/PPK dan penyedia jasa,” tandasnya

Selain itu, pasal 120 Perpres 70 Tahun 2012, bahwa maksimal pengenaan denda keterlambatan adalah sebesar jaminan pelaksanaan atau 5%. Apabila melewati jaminan pelaksanaan, maka PPK harus memutus kontrak. Itu jika kembali mengacu kepada pemberian denda keterlambatan yang diatur setelah perubahan perpres yang tidak ada batasan maksimal denda keterlambatan tersebut.

“Kita dapat menggunakan ketentuan pemberian kesempatan untuk menyelesaikan pekerjaan selama maksimal 50 hari kalender karena pada dasarnya waktu 50 hari keterlambatan sama besarannya dengan jaminan pelaksanaan,” kata Manap

Jadi Ia menilai penerapan denda oleh Pemprov Jabar yang melebihi dari maksimal pengenaan denda keterlambatan pada 5% adalah merupakan penghianatan terhadap konstitusi./tat azhari