PAN Soroti Peluang Privatisasi Terselubung Di Persorada BPR Kuningan
INILAHKUNINGAN- Enam catatan strategis diajukan Fraksi Amanat Restorasi DPRD Kuningan untuk menyetujui Raperda Perubahan status BPR Kuningan menjadi Persorada. Sekretarisnya, Hj Lin Yulyanti menyebut, perubahan hukum ini harus menjadi momentum pembenahan menyeluruh, bukan sekadar formalitas.
”Kalau hanya bersifat administrative tanpa perubahan nyata system pengelolaa, kami Fraksi Amanat Restorasi menolak Raperda ini,” tegas Hj Lin Yulianti, kepada InilahKuningan
Untuk itu, sorotan paling tajam diarahkan pada aspek tata kelola dan profesionalisme. Politisi PAN Kuningan ini meminta proses rekrutmen direksi dan dewan komisaris harus objektif dan berbasis kompetensi. Ia bahkan secara spesifik meminta gambaran kinerja keuangan BPR saat ini sebelum Raperda dibahas lebih lanjut.
“Kami meminta informasi terkait gambaran kinerja keuangan, seperti rasio NPL atau kredit macet, CAR (kecukupan modal), BOPO (efisiensi), ROA (pengembalian aset), dan ROE (pengembalian ekuitas),” tandasnya.
Kekhawatiran kedua, lanjutnya, adalah terkait permodalan dan kepemilikan saham. Fraksinya meminta penjelasan rinci mengenai komposisi saham dan sumber penyertaan modal. “Kami menegaskan bahwa perubahan bentuk hukum tidak boleh mengurangi kontrol publik dan tidak boleh membuka peluang privatisasi terselubung atas aset daerah yang strategis,” ujar Lin.
Fraksinya juga menuntut kejelasan status aset, kewajiban, serta proses peralihan hak pegawai agar tidak menimbulkan persoalan hukum di kemudian hari.Lin juga mengingatkan agar BPR tidak kehilangan jati dirinya.
“Jangan sampai perubahan bentuk hukum menjauhkan BPR dari jati dirinya sebagai bank rakyat daerah. Misi sosial dan ekonomi kerakyatan harus tetap menjadi roh utama,” tandasnya lagi.
Hal ini juga berkaitan dengan perlindungan pegawai. Ia mengingatkan, pegawai adalah aset utama institusi, bukan sekadar beban operasional[cite: 233].”Fraksi Amanat Restorasi menolak jika transformasi kelembagaan ini menjadi dalih bagi praktik perampingan tanpa keadilan atau rekrutmen berbasis kedekatan politik,” ujarnya.
Terakhir, Ia menegaskan bahwa dengan status baru ini, pengawasan DPRD justru harus semakin tinggi, bukan semakin longgar. Fraksinya menuntut adanya Indikator Kinerja Utama (KPI) yang jelas, rencana bisnis lima tahunan, dan audit independen setiap tahun.
“Setiap rupiah penyertaan modal daerah adalah uang rakyat, sehingga harus disertai sistem pelaporan yang transparan dan terbuka untuk dikaji publik,” ungkapnya./tat azhari


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.