ADA KALIMAT lama yang tiba-tiba terasa relevan lagi: tak semua yang terang itu menerangi.
Mungkin itulah yang dirasakan warga Kuningan hari ini, ketika proyek Kuningan Caang yang menelan anggaran Rp117 miliar justru menimbulkan lebih banyak tanda tanya daripada cahaya.

Padahal awalnya, program ini terdengar menjanjikan: penerangan jalan modern, hemat energi, dan kabupaten yang lebih aman serta elok di malam hari. Tapi seiring waktu, lampu-lampu itu lebih sering mati daripada menyala. Jalanan tetap gelap, sementara laporan keuangan proyeknya malah “terang benderang” bukan dalam makna yang diharapkan.

Cahaya yang Menyilaukan Logika

Kejanggalan proyek ini bukan gosip pinggir jalan. Nilainya terlalu besar dibanding hasil yang tampak di lapangan. Tiang-tiang banyak yang miring, lampu padam, dan distribusi yang tidak merata membuat warga bertanya: Benarkah 117 miliar hanya menghasilkan cahaya seperti ini?

Lebih parah lagi, transparansi proyek nyaris gelap total. Tak ada publikasi terbuka soal detail pengadaan, pemenang tender, atau spesifikasi teknis. Padahal di era digital seperti sekarang, data semestinya mudah diakses publik.

Satu per satu, masyarakat mulai menautkan titik-titik: proyek besar, pengawasan lemah, dan hasil yang tak sebanding. Narasi pembangunan yang seharusnya mempersatukan, malah berubah menjadi bisik-bisik kecurigaan.

Kejaksaan: Lampu Hukum yang Redup

Warga masih berbaik sangka. Mereka menunggu langkah hukum. Tapi penantian itu kini mulai berubah jadi kekecewaan. Kejaksaan tampak berjalan pelan, seolah menimbang setiap langkah di atas ranjau kepentingan. Konon katanya : “masih dalam tahap pengumpulan data”, “masih dalam proses”.

Kata “masih” yang terlalu lama itu membuat publik lelah. Sebab setiap kali hukum tampak ragu, yang terkikis bukan hanya kredibilitas lembaga, tapi juga kepercayaan rakyat.
Dan ketika kepercayaan itu padam, semua lampu yang dipasang takkan mampu membuat daerah ini benar-benar terang.

Suara dari Jalan, Nyala dari Rakyat

Karena tak kunjung ada kejelasan, suara rakyat pun menyala. Mahasiswa turun ke jalan, media lokal menggali data, dan media sosial berubah menjadi ruang protes virtual. Tagar sindiran bermunculan, dari #Kuningancaangkeun.

Yang mereka tuntut sederhana: transparansi dan tanggung jawab. Rakyat hanya ingin tahu apakah uang pajak yang mereka bayarkan benar-benar diterangi nurani, atau sekadar membakar anggaran.

Amarah ini bukan sekadar soal lampu, tapi soal harga diri publik. Ketika warga kecil diminta membayar pajak dengan tertib, wajar bila mereka menuntut pemerintah bersikap jujur dengan sepenuh hati.

Menyalakan Terang yang Sebenarnya

Namun Kuningan tak boleh tenggelam dalam kegelapan sinisme. Setiap polemik bisa menjadi momentum perubahan jika direspons dengan kepala dingin dan hati bersih. Ada beberapa langkah sederhana yang bisa ditempuh:

  1. Audit publik independen dengan melibatkan akademisi dan masyarakat sipil.
  2. Publikasi data proyek secara terbuka di laman resmi pemerintah daerah.
  3. Percepatan penyidikan kejaksaan agar keadilan tak padam sebelum waktunya.
  4. Reformasi sistem pengadaan, dari berbasis kedekatan menuju berbasis kebutuhan.
  5. Edukasi publik agar warga ikut mengawasi tanpa rasa takut.

Karena dalam demokrasi lokal, pengawasan rakyat bukan ancaman tapi cahaya yang menjaga dari kegelapan kekuasaan.

Penutup: Terang dari Dalam

Kuningan tidak kekurangan lampu, hanya kekurangan kejujuran. Dan sebelum kita menambah tiang-tiang baru, barangkali ada baiknya kita periksa dulu apakah kabel moral dan nurani kita masih tersambung.

Sebab kalau cahaya yang kita pasang hanya untuk menutupi kesalahan, maka “Kuningan Caang” tak lebih dari panggung yang berkilau di luar, tapi hangus di dalam.

Pada akhirnya, yang membuat sebuah kota benar-benar terang bukan anggaran 117 miliar, melainkan keberanian untuk jujur di hadapan rakyat.

Dan semoga, dari gelapnya polemik ini, lahir satu kesadaran sederhana:
bahwa cahaya paling abadi selalu datang dari hati yang bersih bukan dari kontrak yang gemerlap.

🕯️ Sela Waktu — ruang kecil untuk berpikir jernih di tengah bisingnya terang semu.

✍️ Oleh: Ageng Sutrisno