Brimob Melintas, Nyawa Terlindas
DI NEGERI INI, nyawa manusia sering kali kalah berharga dibandingkan besi. Semalam, seorang pengemudi ojek online meninggal, tubuhnya remuk dilindas kendaraan taktis Brimob. Tak ada yang lebih tragis selain fakta bahwa kabar ini hanya sekilas lewat di linimasa, lalu bisa jadi kelak akan tenggelam oleh hiruk-pikuk isu remeh-temeh lainnya.
Pertanyaannya sederhana tapi getir: sejak kapan roda besi negara boleh lebih tinggi derajatnya daripada nyawa rakyat biasa? Apa yang sedang kita rawat—rasa kemanusiaan atau rasa kuasa?
Kematian itu terjadi di jalan raya, ruang publik yang mestinya aman untuk semua. Namun kini, jalan raya bukan lagi milik rakyat, melainkan arena unjuk kuasa aparat bersenjata. Ironis, profesi ojek online yang lahir dari keresahan rakyat kecil demi sesuap nasi, justru kehilangan nyawa di bawah roda negara yang seharusnya melindungi.
Kita memang terbiasa menormalisasi kekerasan. “Kecelakaan,” begitu kata narasi resmi. Padahal ada perbedaan besar antara kecelakaan dan kelalaian struktural. Antara takdir dan kesewenang-wenangan. Ketika kendaraan perang melintas di jalur sipil tanpa kesadaran penuh, itu bukan sekadar insiden—itu simbol. Simbol bahwa negara masih gagap membedakan antara menjaga rakyat dan mengintimidasi rakyat.
Dan, sebagaimana biasa, publik hanya diminta untuk “memaafkan”. Padahal siapa yang akan maklum istri yang kehilangan suami? Anak yang kehilangan ayah? Atau dapur yang kehilangan api karena tulang punggungnya sudah tiada?
Di hadapan kematian seorang rakyat kecil, negara diam. Yang ramai justru rakyat biasa, saling bergumam di warung kopi,di jalanan, di kolom komentar, di ruang-ruang sunyi yang nampaknya tidak pernah sampai ke telinga pengambil kebijakan.
Nyawa itu bukan statistik. Nyawa itu bukan berita singkat. Nyawa itu kehidupan yang utuh. Dan ketika negara gagal melindungi satu nyawa rakyat kecil, maka sebenarnya negara sedang gagal melindungi dirinya sendiri.
“Sejarah bangsa ini akan mengutuk setiap nyawa yang dilenyapkan oleh aparat negara. Darah ojol itu kini menodai seragam Brimob—dan noda itu takkan hilang meski dicuci dengan seribu upacara hormat.”


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.