Blunder DPRD Kuningan, Membiarkan Publik Melawan
DALAM narasi politik dan komunikasi publik, ada hukum sederhana: kalau wakil rakyat terlalu sibuk menjelaskan aturan, dan tidak memiliki empati saat dikritik, maka publik akan mencatat keresahannya sendiri.
DPRD Kuningan baru saja mengulang pelajaran itu. Saat kabar tunjangan rumah Rp22–25 juta mencuat, yang terdengar justru alasan normatif: “ini sesuai aturan.” Alhasil, ruang kosong empati dibiarkan terbuka. Publik pun menuliskan naskahnya dengan genre satir namun dalam dan sesuai realita: rakyat berhemat, wakilnya berlimpah.
Teori framing (Entman, 1993) mengingatkan, siapa yang pertama membingkai isu, dialah yang menguasai opini. Sayangnya, DPRD Kuningan kalah start. Publik melihat bukan detail pasal atau regulasi, melainkan ketimpangan moral. Ketika ASN harus rela dipotong TPP 20% demi menutup utang daerah, kabar tunjangan puluhan juta terasa seperti ironi yang menampar.
Lebih parahnya, publik membangun “emotional capital” (Zembylas, 2007) dengan narasi getir: mereka menanggung beban, sementara wakilnya menikmati fasilitas. Inilah bentuk jarak psikologis yang jauh lebih tajam daripada angka APBD. Tunjangan mungkin sah menurut aturan, tapi citra yang terbentuk sah-sah saja dicatat publik: ada jurang empati yang tak tertutup.
Padahal, ada jalan komunikasi yang lebih bijak. Kalau saja DPRD berkata sederhana nan penuh empati: “Kami memahami keresahan masyarakat dan merasakan apa yang mereka rasakan, kami akan mengkaji ulang kebijakan ini bersama rekan-rekan agar ada jalan tengah terbaik,” narasi bisa berbalik arah. Dari antagonis menjadi mitra yang peduli. Dari sekadar pembela aturan, menjadi perwakilan yang mendengar.
DPRD seakan bermain dadu dengan wait & see, menunggu dan melihat perkembangan kritik ini akan berlabuh kemana. Apakah gerakan masif seperti agustus lalu atau bahkan seperti di Nepal atau hanya berupa riak sedikit di media kemudian menghilang seiring berjalanya waktu.
Prediksi saya, dua hal ini memiliki penanganan berbeda. Jika gerakanya masif dan tidak kondusif maka evaluasi tunjangan adalah jalan terbaik. Namun jika hanya riak – riak kecil di media, mereka akan diamkan seperti debu yang tertiup angin.
Padahal bahkan riak kecilpun jika dibiarkan akan menjadi suara besar. Sejarah akan mencatat bahwa dalam keadaan masyarakat yang tertekan wakilnya malah keenakan menikmati tunjangan rumah yang nyaman.
Jika melihat linimasa lalu. Akbibat dari sikap anggota dewan yang kurang bijak adalah masa yang tidak bisa dikendalikan. Sudah terjadi, bagaimana Anggota DPR RI yang nirempati seperti Ahmad Sahroni, Eko Patrio dan Uya Kuya rumahnya dijarah, citranya jatuh dan harga dirinya hilang. Saya pribadi tidak ingin hal itu terjadi di Kuningan dan masih berharap Dewan yang terhormat di ancaran ini masih memiliki nilai moral dan kemanusiaan yang tinggi.
Sebagai penutup. Pelajaran dari kasus ini sudah sangat jelas: membiarkan publik menulis akun satir adalah blunder komunikasi politik. Karena sekali publik merasa ditinggalkan, setiap angka dalam APBD bisa terbaca sebagai simbol ketidakadilan. DPRD Kuningan tidak hanya kehilangan kendali narasi, tapi juga panggung simpati. Dan itulah harga mahal dari kalimat normatif yang dingin, di tengah keresahan yang hangat.
_Sela Waktu
Ageng Sutrisno


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.