Suara Influencer, Aspirasi Rakyat: Kekuatan Baru di Balik Tuntutan 17+8
APAKAH rakyat kini lebih didengar lewat unggahan media sosial ketimbang teriakan di jalan?
Pertanyaan ini terasa relevan ketika melihat fenomena baru di Indonesia: Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat.
Gelombang Aspirasi Baru
Tahun 2025 menjadi saksi lahirnya gelombang aspirasi publik yang tidak hanya muncul di jalanan, tetapi juga di ruang digital dengan partisipasi luas dan kekuatan yang menggetarkan. Munculnya Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat membuktikan bahwa publik—termasuk para influencer—tidak lagi rela hanya menjadi penonton dalam dinamika pemerintahan dan parlemen. Dokumen berisi 17 tuntutan jangka pendek dan 8 tuntutan jangka panjang ini menjadi simbol keresahan rakyat atas ketidakadilan, kurangnya transparansi, dan pelemahan institusi negara. Ia menjadi refleksi mendalam tentang demokrasi, keadilan, dan pemenuhan hak-hak dasar.
Peran Influencer dalam Gerakan
Peran influencer dalam mendorong lahirnya 17+8 sangat krusial. Dokumen tersebut dirumuskan oleh figur publik seperti Jerome Polin, Andovi Da Lopez, dan Andhyta F. Utami hanya dalam waktu sekitar tiga jam, setelah menghimpun aspirasi dari warganet, organisasi masyarakat sipil, hingga peserta demonstrasi buruh.
Suara rakyat kini dapat “tersaring” dengan cepat melalui media sosial karena influencer berperan sebagai jembatan antara rakyat dan lembaga pemerintahan.
Dalam wawancara bersama Tempo (12 September 2025), Andhyta F. Utami atau yang biasa disapa Afu menegaskan bahwa Gerakan 17+8 bukanlah inisiatif baru, melainkan hasil rangkuman cepat dari berbagai tuntutan masyarakat sipil yang sudah ada.
“Kami hanya merangkum tuntutan yang sudah ada,” ujarnya Afu menambahkan bahwa kolektif tidak mengklaim kepemilikan gerakan tersebut, melainkan ingin mempercepat penyebaran informasi agar publik memahami apa yang sedang diperjuangkan. Ia juga menyebut ada unsur pendidikan politik di dalamnya, untuk membuat anak muda yang sebelumnya apatis menjadi lebih kritis terhadap isu sosial dan kebijakan publik.
Fenomena ini sejalan dengan teori ruang publik Jürgen Habermas dalam The Structural Transformation of the Public Sphere (1962). Habermas menjelaskan bahwa ruang publik merupakan arena di mana masyarakat membentuk opini bersama melalui komunikasi yang rasional, terbuka, dan bebas dari dominasi kekuasaan. Kini, ruang publik tidak lagi hanya milik politisi atau media besar, tetapi juga dipengaruhi oleh influencer yang memiliki kedekatan emosional dengan publik.
Dua Dunia Demokrasi: Nyata dan Maya
Namun, media sosial tetap menjadi senjata bermata dua. Ia memungkinkan rakyat kecil bersuara dan menggugat kebijakan, tapi juga rawan disinformasi, polarisasi, dan sekadar viral tanpa aksi nyata.
Untuk mencegah hal itu, para influencer berupaya memastikan aspirasi rakyat tidak berhenti pada hashtag saja. Mereka mengajak pengikutnya memantau perkembangan Tuntutan 17+8 melalui situs Bijak Memantau, platform yang digunakan masyarakat untuk mengawasi pelaksanaan tuntutan maupun janji pemerintah.
Menurut saya, fenomena ini menunjukkan bahwa demokrasi kini hidup di dua dunia: dunia nyata dan dunia maya. Jika dulu rakyat harus turun ke jalan untuk bersuara, kini aspirasi dapat disampaikan lewat unggahan media sosial—baik cuitan di X, video pendek, maupun template Instagram yang viral.
Dunia maya bukan lagi sekadar ruang hiburan, tapi ruang politik baru tempat opini, solidaritas, dan aksi tumbuh hanya dalam hitungan jam.
Refleksi Pribadi
Sebagai seorang mahasiswa ilmu politik, saya melihat bahwa bentuk perjuangan rakyat kini berubah. Aksi politik tidak selalu diwujudkan lewat teriakan di jalan atau benturan dengan aparat.
Kadang, perjuangan justru dimulai dari unggahan sederhana yang menggugah hati banyak orang. Ketika unggahan itu viral, ia bisa berubah menjadi gerakan; dan ketika gerakan itu terorganisir, ia menjelma menjadi kekuatan sosial.
Kedua ruang pengungkap aspirasi itu—dunia nyata dan dunia maya—saling melengkapi dan menguatkan. Dari keduanya, dengan cara masing-masing, lahir kekuatan perubahan nyata bagi demokrasi di Indonesia: demokrasi yang lebih partisipatif, terbuka, dan hidup di tangan rakyat sendiri.
Penulis: Della Putri Khoerina/Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial/ UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon/Himpunan Mahasiswa Sosial (HIMASOS)


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.