SETIAP 10 November, kita menundukkan kepala bukan hanya karena hormat, tapi juga karena bingung: siapa sebenarnya yang pantas kita sebut pahlawan?

Tahun ini, kebingungan itu menemukan wujudnya. Pemerintah resmi menetapkan Soeharto, Presiden ke-2 Republik Indonesia, sebagai Pahlawan Nasional. Di saat yang hampir bersamaan, nama Marsinah, aktivis buruh yang mati dibunuh karena memperjuangkan keadilan, juga mendapatkan gelar yang sama.

Dua nama itu seperti dua kutub moral bangsa: satu mewakili kekuasaan yang dulu menindas, satu lagi mewakili rakyat kecil yang tertindas. Lalu, bagaimana mungkin keduanya bisa disandingkan dalam ruang yang sama bernama “kepahlawanan”?

Pahlawan yang Disemir dari Bayangan

Soeharto mungkin punya jasa: pembangunan ekonomi, stabilitas, dan jargon “orde” yang diklaim membawa kemajuan. Tapi di balik stabilitas itu, terselip luka: pelanggaran HAM, pembungkaman pers, dan korupsi yang membuat bangsa ini belajar arti kata trauma.

Bahkan Gus Mus, seorang guru bangsa, berkata lantang tentang Soeharto:

“Banyak kiai yang dimasukin sumur, papan nama NU tidak boleh dipasang, yang suruh dipasang banyak dirobohin oleh bupati-bupati. Adik saya sendiri, Kiai Adib Bisri, akhirnya keluar dari PNS karena dipaksa masuk Golkar.”

Betapa sejarah memberi luka yang dalam kepada banyak tokoh bangsa.

Ketika nama seperti itu diberi gelar “pahlawan”, yang terasa bukan penghormatan, melainkan semacam pemutihan sejarah. Seolah kita sedang menaburkan pupur pada wajah masa lalu agar tampak lebih sopan difoto di depan masa kini sehingga dosa masa lalu perlahan luntur.

Pemberian gelar ini, sadar atau tidak, mengirim pesan simbolik: bahwa di negeri ini, dosa sejarah bisa dilupakan jika punya cukup kekuasaan.

Marsinah : Pahlawan Sesungguhnya

Di sisi lain, Marsinah tidak memimpin negara, tidak memiliki istana, dan tak pernah duduk di kursi kekuasaan. Tapi ia berani melawan ketidakadilan upah, berdiri di tengah pabrik, berbicara untuk mereka yang tak punya suara.

Dan karena keberanian itu, ia diculik, disiksa, dan dibunuh. Kisahnya bukan sekadar berita lama; ia adalah epitaf bagi para buruh  bagi rakyat kecil yang hidupnya diukur dalam keringat, bukan jabatan.

Ironisnya, nama seperti Marsinah yang jelas-jelas korban Orde Baru justru kini disandingkan dengan pemimpin rezim pada masa ia dihabisi.

Kontradiksi yang Menguji Ingatan Bangsa

Pahlawan seharusnya menjadi cermin nilai bangsa. Tapi kini cermin itu retak: di satu sisi ada penguasa yang dilupakan dosanya, di sisi lain ada korban yang disamakan dengan pelaku sejarahnya.

Apakah gelar “pahlawan nasional” kini hanya milik mereka yang memiliki kuasa  sehingga dosa masa lalu bisa dilupakan begitu saja?

Sebuah bangsa bisa kehilangan arah bukan karena lupa masa depan,
tetapi karena berdamai terlalu cepat dengan masa lalunya.

Menolak Lupa, Menjaga Makna

Hari Pahlawan seharusnya bukan ajang bagi negara untuk menata citra, melainkan untuk menata ingatan. Kita boleh memaafkan masa lalu, tapi tidak boleh menulis ulang, apa lagi demi kepentingan.

Entah pertimbangan sepenting apa sehingga Soeharto menjadi pahlawan.
Marsinah diingat karena keberanian dan sejarah, jika jujur, tahu mana di antara keduanya yang benar-benar berjuang agar manusia tetap punya martabat.

Karena kadang, yang sejati pahlawan bukan mereka yang dikenang di monumen,
melainkan mereka yang membuat kita bertanya: apakah keadilan masih hidup di negeri ini?

Selamat Hari Pahlawan.

🖋️ Ageng Sutrisno

Penulis Sela Waktu, kolom mingguan di inilahkuningan.com

Biasa menulis tentang hidup, politik, dan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan oleh statistik.

Kalau tidak sedang menulis, biasanya sedang mikir… kenapa nasi goreng makin mahal. 🍳