Saatnya Kuningan ‘Menjual’ Gunung Ciremai
Walagri Kuningan Asri, Waluya Rahayu Nagri
GUNUNG CIREMAI bukan sekadar lanskap, ia adalah kehidupan. Dari lekuk-lekuk tubuhnya, ratusan mata air mengalir, menyusuri lembah dan menghidupi hamparan sawah di kaki gunung. Ia menyimpan cadangan karbon besar, menyaring udara, menjaga iklim, dan menjadi sumber air baku utama bagi Kabupaten Kuningan.
Namun selama ini, nilai ekologis itu hanya dihitung dalam diam, tidak menjadi angka dalam neraca pembangunan. Kuningan memberi banyak, tapi menerima sedikit. Kini, saat arah baru RPJMD Jawa Barat 2025–2029 yang baru disahkan sabtu lalu (19/07/25), menekankan pentingnya insentif bagi daerah penghasil air dan penyerap karbon. Oleh karenanya Kuningan layak melesat di garis terdepan dan jangan sampai meleset.
Kuningan Lumaku Tandang, Dangiang Galura Juang.
Ciremai bukan hanya menyuplai air bersih kepada warga lokal, tetapi juga penyedia air baku ke daerah tetangga seperti Cirebon dan Indramayu. Pengiriman air mencapai lebih dari 100 liter per detik, dan menghasilkan pendapatan miliaran rupiah. Namun, hal ini masih dalam skema bisnis. Nilai ekologis air dan kelestarian kawasan hulu belum dihitung sebagai imbal jasa pelestarian lingkungan.
Imbal Jasa Lingkungan (IJK): Cara Baru Menghargai Alam
Imbal Jasa Lingkungan (IJK) atau Payment for Environmental Services (PES) adalah skema di mana pihak yang mendapat manfaat dari ekosistem membayar pihak yang menjaga atau melestarikan ekosistem tersebut. Dalam konteks Kuningan, kota/kabupaten pengguna air seperti Cirebon dan indramayu dapat memberi kompensasi kepada desa-desa di lereng Ciremai yang menjaga hutan dan sumber air, kepada pemerintah daerah dengan skema G to G atau bahkan kepada BUMD yang memiliki wewenang untuk mendapatkan kompensasi tersebut sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Model seperti ini telah terbukti sukses di beberapa tempat:
- Costa Rica: Sejak 1997, pemerintah Costa Rica memberikan insentif kepada pemilik lahan yang mempertahankan hutan. Besarannya mencapai US$64–US$100 per hektar per tahun. Hasilnya: laju deforestasi turun drastis, bahkan negara ini mencapai net forest gain.
- California: Melalui program California Compliance Offset, komunitas adat dan petani hutan bisa menjual kredit karbon berbasis tutupan hutan. Harga karbon bisa mencapai US$15–US$20 per ton CO₂. Pendapatan ini digunakan untuk layanan dasar dan perlindungan lingkungan.
- Indonesia (Lampung Barat): Pemerintah dan masyarakat telah memulai skema IJK antara desa hulu (penjaga sumber air) dan desa hilir (pengguna air). Pada 2020, tercatat lebih dari Rp 100 juta per tahun dialokasikan untuk program konservasi dari kontribusi pengguna air.
Model IJK bisa menjadi peluang besar bagi Kuningan. Dengan menyusun mekanisme pembayaran berbasis konservasi, maka desa-desa penjaga mata air atau kabupaten Kuningan sebagai tuan rumah dapat memperoleh pendapatan tambahan dan semangat melestarikan hutan dapat tumbuh bersama pembangunan. Dengan semangat melesat Pemerintah Kabupaten Kuningan bersama DPRD dan akademisi serta elemen masyarakat lainya yang berkepentingan sudah seharusnya segera melakukan pembahasan:
- Menyusun peta jalan jasa lingkungan berbasis DAS Ciremai.
- Menentukan nilai ekonomi karbon dan air.
- Membuat regulasi daerah tentang tata cara pembayaran jasa lingkungan antar wilayah.
- Mendorong kolaborasi dengan sektor swasta dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market).
Gunung Ciremai Mayungan, Galurana Pangwangunan.
Kuningan tidak perlu mengejar industrialisasi yang mengorbankan bentang alam atau eksploitasi panas bumi Gunung Ciremai. Justru dari menjaga alamnya, Kuningan bisa memperoleh nilai tambah ekonomi, dengan arah pembangunan yang lestari, bukan destruktif. Ciremai tidak hanya menjadi pemasok air, tetapi juga ujung tombak konservasi dan diplomasi ekologis.
“Apa yang dirawat dengan tulus, akan tumbuh menjadi keberkahan. Dan tanah yang dijaga dengan cinta, akan membalasnya dengan kehidupan.”
Jangan lupakan juga pepatah mahsyur “Kita Jaga Alam, Alam Jaga Kita”. Semua ini dilakukan untuk menuju Kuningan Rapih Winangun Kertaraharja.
Referensi :
- Pagiola, S., Arcenas, A., & Platais, G. (2005). Can Payments for Environmental Services Help Reduce Poverty? An Exploration of the Issues and the Evidence to Date from Latin America. World Development, 33(2), 237–253.
- Wunder, S. (2005). Payments for Environmental Services: Some Nuts and Bolts. CIFOR Occasional Paper No. 42.
- Farley, J., & Costanza, R. (2010). Payments for ecosystem services: From local to global. Ecological Economics, 69(11), 2060–2068.
- California Air Resources Board. (2023). Compliance Offset Program Overview. https://ww2.arb.ca.gov
- Putri, N. I. R., et al. (2021). Pengembangan Skema Imbal Jasa Lingkungan di DAS Way Besai Lampung Barat. Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan, 18(1), 27–38.
- Ministry of Environment and Energy Costa Rica. (2022). PES Annual Report.
_Sela Waktu
Ageng Sutrisno


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.