Resistensi Antimikroba dan Peresepan Antibiotik
Akhir akhir ini, salah satu media kembali mengangkat pandangan tentang peresepan yang dianggap serampangan oleh tenaga medis melalui cara pandang mereka dan sebagian petugas medis yang mempunyai tugas berbeda dengan praktisi klinis tenaga medis terutama dokter, kalimat serampangan membuat profesi dokter di Indonesia seakan terus dibully dengan berbagai cara pandang yang tidak menyeluruh dan disayangkan media Indonesia juga memang terbukti lebih serampangan dan bahkan dibebaskan untuk membuat opini tanpa kontrol dan tentunya menambah ajang pendapat dan persepsi seperti proxy warm
Bagi seorang dokter dalam pendidikan serta praktek klinis kadang berbeda saat pertimbangan di lapangan mengingat kondisi lingkungan dimana dokter bertugas. Kita memahami Resistensi antimikroba terjadi saat kuman seperti bakteri dan jamur mengembangkan kemampuan untuk mengalahkan obat yang dirancang untuk membunuh mereka. Artinya kuman tidak terbunuh dan terus berkembang. Infeksi yang resisten bisa jadi sulit, dan terkadang tidak mungkin, untuk diobati. Manusia sendiri di alam mengalami itu karena sebagai mahluk mikroba juga memperlihatkan diri mempunyai usaha imunitas bagaimana mempertahankan hidup dan menang dilingkungan versus cara hidupnya tersebut.
Bagi pakem konsep hidup manusia maka kebijakan untuk menanggulangi mortalitas dan morbiditas maka memerlukan aturan sebagaimana dalam berlalu lintas untuk menekan kecelakaan diadakanlah rambu rambu lalu lintas, demikian pula dalam peresepan obat , maka dokter memahami ketika akan menulis resep obat dengan menyimpulkan hasil investigasi anamnesa, pemeriksaan fisik maupun pemeriksaan tambahan seperti laboratorium dan radiologi maupun pemeriksaan pendukung lainnya, jadi pengetahuan dokter menulis resep seperti pengendara alat transportasi yang mengetahui aturan tapi boleh bermanuver sesuai kondisi lingkungan saat itu, sehingga upaya mengobati pasien berhasil .
Bagi ilmu kedokteran memang Resistensi antimikroba merupakan ancaman kesehatan masyarakat global yang mendesak, menewaskan sedikitnya 1,27 juta orang di seluruh dunia dan menyebabkan hampir 5 juta kematian pada tahun 2019. Di AS, lebih dari 2,8 juta infeksi yang resistan terhadap antimikroba terjadi setiap tahunnya. Lebih dari 35.000 orang meninggal sebagai akibatnya, karena kuman berhasil bertahan akibat terbiasa terpapar antibiotik dengan berbagai jenis, namun banyak hal diluar itu penyebabnya sebenarnya termasuk imunitas tubuh manusia serta asupan makanan yang membuat metabolisme kompleks di tubuh Manusia, jadi tidak mutlak karena resistensi antibiotik.
Salah satu contoh menurut menurut Laporan yang bisa dikatakan investigasi tapi belum menggunakan metode penelitian akurat , saat Clostridioides difficile (bakteri yang biasanya tidak resisten tetapi dapat menyebabkan diare yang mematikan dan berhubungan dengan penggunaan antimikroba) ditambahkan ke dalamnya, jumlah total ancaman di AS dalam laporan tersebut melebihi 3 juta infeksi dan 48.000 kematian.
Keadaan Resistensi antimikroba berpotensi mempengaruhi orang-orang di semua tahap kehidupan, serta industri kesehatan, kedokteran hewan, dan pertanian. Hal ini menjadikannya salah satu masalah kesehatan masyarakat yang paling mendesak di dunia, hal tersebut karena menyangkut siklus hidup mikroba dari tubuh manusia, keluar ke lingkungan, masuk ke tubuh mahluk lain dan selanjutnya melalui makanan, minuman ataupun lainya masuk tubuh manusia lagi dan seterusnya, dan saat masuk tubuh manusia terpapar antibiotik lagi yang lebih kuat sehingga saat keluar tubuh manusia dengan berbagai vektor ia akan bertambah kuat.
Sebagaimana kehidupan secara umum , paparan stress berbagai hal termasuk antibiotik bagi Bakteri dan jamur tidak harus berulang kali dulu menjadi resisten terhadap setiap antibiotik atau antijamur agar bisa berbahaya. Jika terjadi Resistensi terhadap satu antibiotik saja bisa menimbulkan masalah serius. Misalnya:
- Infeksi yang resistan terhadap antimikroba yang memerlukan penggunaan pengobatan lini kedua dan ketiga dapat membahayakan pasien dengan menyebabkan efek samping yang serius, seperti kegagalan organ, dan memperpanjang perawatan dan pemulihan, terkadang hingga berbulan-bulan. Saat ini terjadi pada pasien yang resiko riwayat alergi tinggi
- Banyak kemajuan medis bergantung pada kemampuan melawan infeksi dengan menggunakan antibiotik, termasuk penggantian sendi, transplantasi organ, terapi kanker, dan pengobatan penyakit kronis seperti diabetes, asma, dan rheumatoid arthritis karena disitu terdapat proses imunologi juga saat terjadi peradangan, selain bantuan antibiotik untuk mencegah paparan kuman, tubuh juga mengadakan reaksi inflamasi dari mekanisme tubuhnya sendiri. Disaat-saat seperti itulah ketika tubuh mengeluarkan reaksi terhadap peradangan, masuk pula antibiotik yang juga merupakan senyawa asing.
- Dalam beberapa kasus, infeksi dokter mengetahui tidak memiliki pilihan pengobatan Jika antibiotik dan antijamur kehilangan efektivitasnya, untuk itulah penegakan penulisan diagnosa yang tepat menyebabkan kearifan menulis resep sehingga tidak dianggap investigasi media yang tidak memiliki kemampuan merumuskan kegiatan dokter terjadi, keserampangan penulisan media menunjukkan sempit dan luasnya kemampuan si penulis memaparkan pendapat versus tujuan penulisan itu sendiri, karena media merupakan alat framming paling tepat, apakah ada misi asing di era globalisasi untuk terus menggeser kemampuan dokter di Indonesia dalam membantu masyarakat bangsa dan negara ini untuk mampu menjadi tuan rumah dan ahli di tanah air sendiri? Saya yakin masyarakat Indonesia masih mempunyai Patriotisme dalam berpikir apakah benar dokter Indonesia kehilangan kemampuan untuk mengobati infeksi dan mengendalikan ancaman kesehatan masyarakat dengan meresepkan antibiotik secara bijaksana, bagi dokter tentunya melengkapi diagnosa multiaxial perlu terus ditingkatkan ditengah kesibukan lainnya, sehingga saat investigasi secara parsial sampling datang tidak serta merta dianggap serampangan dan dijadikan framming media.
Saat ini kedepannya bahkan dengan hadirnya tehnologi digital serta artifisial intelegent yang semakin sempurna menghimpun data tanpa rasa cape dan humaniora menjadi bagian dari kehidupan pelayanan kesehatan kita, ilmu pengetahuan berkembang sesuai sunahnya, dokter sebagai manusia juga berkembang sesuai sunahnya maka media dengan segala upaya dan kedewasaan lingkungan serta aturan yang melindungi frammingnya pun membuat resistensi masyarakat dan menjadikan penyakit continuous partial attention, masyarakat pun bisa resistens terhadap media yang dikemas ilmiah meskipun itu hoax. Waspadalah!!.**
Penulis:
dr.Agus Ujianto, MSi.Med, SpB
Ketua Umum Perhimpunan Kedokteran Digital Terintegrasi Indonesia (Predigti.id)


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.