CENTER of Economic and Law Studies (CELIOS) merilis laporan berjudul Makan (Tidak) Bergizi (Tidak) Gratis pada hari Senin tanggal 15 Desember 2025. Laporan ini mengevaluasi pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digulirkan pemerintah sejak Januari 2025 sebagai program prioritas nasional pemerintahan Prabowo–Gibran.  Program MBG dinilai gagal memperbaiki gizi, rawan korupsi, dan bermasalah dalam tata kelola. Ini ironis mengingat program itu menelan Rp 355 triliun padahal mengorbankan anggaran pendidikan dan kesehatan.

Alih-alih menunjukkan perbaikan signifikan pada status gizi anak dan kelompok rentan, mereka menemukan MBG justru memunculkan persoalan struktural. Mulai dari perencanaan anggaran agresif, lemahnya tata kelola dan pengawasan, rendahnya kualitas makanan, hingga eksploitasi tenaga kerja di lapangan. Program yang sejak awal diklaim sebagai investasi jangka panjang bagi generasi masa depan itu, dijalankan tanpa fondasi kebijakan publik yang matang dan berbasis bukti.


Evaluasi disusun melalui wawancara pemangku kepentingan, analisis Rapat Dengar Pendapat antara Badan Gizi Nasional (BGN) dan DPR, serta survei terhadap 1.868 responden masyarakat di wilayah desa, pinggiran kota, dan perkotaan. Sebanyak 691 responden di antaranya merupakan pekerja Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di 27 provinsi.

Anggaran Jumbo dan Logika Predatory Budgeting 

CELIOS menempatkan anggaran sebagai persoalan mendasar MBG. Program ini dialokasikan dana sebesar Rp 355 triliun, angka yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk satu program pangan dan gizi nasional. Anggaran tersebut tidak berasal dari ruang fiskal baru, melainkan hasil realokasi besar-besaran dari sektor fundamental. Jumlahnya yakni Rp 223 triliun dari pendidikan, Rp 24,7 triliun dari kesehatan, serta Rp 19,7 triliun dari pemberdayaan UMKM dan ketahanan pangan.  Dalam perspektif hak asasi manusia, realokasi tersebut dinilai bermasalah karena berpotensi melemahkan hak atas pendidikan dan kesehatan, terutama bagi kelompok miskin dan rentan.

Dana sebesar itu lebih rasional apabila dialihkan ke program-program yang telah terbukti efektif dan memiliki mekanisme akuntabilitas jelas. Setidaknya terdapat empat belas program prioritas yang dinilai lebih relevan menjawab kebutuhan publik secara langsung. Sebut saja Program Keluarga Harapan (PKH), beasiswa pendidikan, Program Indonesia Pintar (PIP), subsidi alat kesehatan disabilitas, kartu sembako, hingga percepatan akses air bersih dan sanitasi.

SPPG dan Risiko Korupsi Sistemik 

Masalah MBG berlanjut pada tata kelola Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) sebagai ujung tombak program. Survei CELIOS menunjukkan 79 persen responden menyadari adanya konflik kepentingan dalam penunjukan dan pengelolaan SPPG. Keterlibatan aparat keamanan dalam program sipil berskala nasional juga dinilai mencerminkan dominasi struktural aparat dalam kebijakan publik yang berpotensi mengaburkan prinsip akuntabilitas dan pengawasan sipil.

Keracunan Massal dan Ketiadaan Perlindungan Negara 

Persoalan tata kelola MBG menjadi nyata ketika dihadapkan pada rangkaian kasus keracunan massal. Hingga 15 November 2025, tercatat sedikitnya 15.117 korban keracunan MBG di berbagai wilayah Indonesia. Insiden ini terjadi di tengah ketiadaan payung hukum dan aturan teknis pelaksanaan hingga pertengahan November 2025.  BGN mengklaim MBG telah menjangkau 36.773.520 penerima manfaat melalui sekitar 12.500 SPPG. Namun klaim tersebut tidak didukung sistem pemantauan dan evaluasi yang kredibel.

Menurut CELIOS, keracunan massal tidak dapat dipahami sebagai kecelakaan teknis semata, tapi juga indikasi kegagalan sistemik dalam pengawasan keamanan pangan. Pengawasan MBG masih bersifat tertutup dan internal, tanpa akses publik serta tanpa evaluasi menyeluruh dari lembaga negara seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Kementerian Kesehatan.

Makanan Tidak Bergizi Beban Baru bagi Anak 

Dari sisi kualitas pangan, ditemukan menu MBG di berbagai daerah didominasi ultra-processed food seperti roti, biskuit, kue, susu berperisa, dan daging olahan. Temuan ini terjadi di sejumlah wilayah, termasuk Sukabumi, Tangerang, Serang, dan NTT.  CELIOS mengingatkan konsumsi ultra-processed food secara rutin berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit tidak menular, seperti diabetes tipe-2, obesitas, penyakit jantung, gangguan kesehatan mental, hingga kanker. Klaim peningkatan Indeks Massa Tubuh (IMT) anak juga tidak sejalan dengan temuan lapangan. Sebanyak 62 persen ibu responden menyatakan anak mereka tidak mengalami kenaikan berat badan setelah mengonsumsi MBG. Dalam perspektif hak anak, penyediaan makanan dengan kualitas gizi rendah berisiko menciptakan ilusi keberhasilan, tanpa perbaikan nyata pada status gizi dan kesehatan jangka panjang.

Eksploitasi Pekerja dan Beban Kerja Berlapis 

Temuan juga menyoroti kondisi kerja di SPPG. Pekerja, termasuk lulusan Sarjana Penggerak Pembangunan Indonesia (SPPI) dilaporkan bekerja lebih dari 20 jam per hari, tanpa kontrak kerja tertulis, serta kerap mengalami keterlambatan pembayaran gaji. Setiap SPPG dituntut menyediakan 3.000 hingga 4.000 porsi makanan per hari, namun pengawasan gizi hanya dilakukan oleh satu orang tenaga. Bahkan, 6,7 persen tenaga yang berperan sebagai ahli gizi tidak memiliki latar belakang pendidikan gizi. Kondisi ini mencerminkan kegagalan negara menjamin keamanan pangan sekaligus menyediakan pekerjaan layak, terutama bagi pekerja perempuan yang banyak terlibat dalam layanan gizi.

Ketidaktepatan Sasaran dan Amblesnya Kepercayaan Publik 

Pelaksanaan MBG juga mencatat masalah ketepatan sasaran. Sebanyak 34,2 persen penerima manfaat MBG dinikmati rumah tangga berpendapatan menengah ke atas, sementara kelompok miskin dan rentan belum sepenuhnya menjadi prioritas.  Akumulasi persoalan tersebut berdampak pada penurunan tajam kepercayaan publik terhadap MBG. Survei menunjukkan 95,73 persen responden memilih agar program MBG dihentikan, sementara 71,08 persen mengusulkan penggantian skema MBG menjadi bantuan tunai langsung. Data ini menunjukkan publik tidak hanya mempertanyakan efektivitas MBG, tetapi juga meragukan kapasitas negara mengelola program secara transparan dan adil.

Perlu Evaluasi Total MBG

Merespons temuan-temuan tersebut, CELIOS mendorong perubahan mendasar dalam arah dan tata kelola MBG. Audit total terhadap seluruh aspek MBG dipandang sebagai langkah awal yaitu mencakup penganggaran, keamanan pangan, serta kondisi ketenagakerjaan di seluruh SPPG tanpa pengecualian. Pembentukan satuan tugas reformasi independen dipandang penting untuk memproses pelanggaran kontrak, praktik mark-up, serta menata ulang seleksi dan pengawasan SPPG.

Di sisi implementasi, adanya dorongan penguatan dapur MBG berbasis sekolah dan UMKM lokal di bawah pengawasan ahli gizi daerah, disertai penetapan standar menu nasional berbasis bukti ilmiah. Survey dibuat sebagai pengingat jangan sampai MBG berisiko menjadi program mahal yang gagal memenuhi hak dasar anak, pekerja, dan masyarakat luas.

Kuningan, 22 Desember 2025

Uha Juhana

Ketua LSM Frontal