Penyadap Getah Pinus Ilegal Kuningan Diancam 10 Tahun Penjara Denda Rp5 Miliar, Aparat Jangan Tutup Mata!
INILAHKUNINGAN- Penyadapan Getah Pinus Ilegal di Taman Nasional Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, sudah berjalan 3 tahun, tidak kunjung ditangani aparat penegak hukum. Pakar Hukum Prof Dr Suwari Akhmaddhian MH, yang juga Direktur Pusat Studi Kebijakan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup menyayangkan kondisi itu.
“Sangat jelas ada larangan penyadapan getah pinus tanpa izin diatur dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam Pasal 50 ayat 3 huruf e dan f,” ucap Prof Dr Suwari Akhmaddhian, di kantornya, Selasa (29/7/2025), kepada InilahKuningan
Huruf e berbunyi, menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang. Adapun huruf f, menerima, membeli atau menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, atau memiliki hasil hutan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kawasan hutan yang diambil atau dipungut secara tidak sah.
Sesuai UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pelakunya dapat dihukum dengan pidana dan denda sesuai pasal Pasal 78 ayat 5, barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 ayat 3 huruf e atau huruf f, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp5 miliar.
“Selain itu, ada Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. UU ini juga berkaitan penyadapan getah pinus tanpa izin atau illegal,” tandasnya
Kemudian pasal 50 ayat 1 dan ayat 2 menyatakan, bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan usaha hutan tanpa izin atau perizinan yang berlaku. Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan denda paling sedikit Rp500 juta, paling banyak Rp5 miliar.
“Jadi sudah seharusnya penyadapan getah pinus di Taman Nasional Gunung Ciremai dilarang karena mengganggu ekosistem dan ekologi hutan konservasi,” tegas Prof Dr Suwari Akhmaddhian
Alasan pendekatan zona tradisional tidak sejalan dengan sejarah tata kelola Gunung Ciremai, yang sejak zaman dahulu tidak ada Pituin Asli Kuningan yang secara turun temurun melakukan penyadapan getah pinus di Gunung Ciremai, maka sudah sepantasnya kementerian, Balai TNGC dan kepolisian bertindak tegas terhadap para terduga pelaku tindak pidana kejahatan kehutanan.
Apalagi dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi dalam Pasal 131 ayat 3 berbunyi Pemungutan HHBK sebagaimana dimaksud pada ayat 2 dilakukan dengan ketentuan, pertama hanya memungut HHBK yang sudah tersedia secara alami dan/atau hasil rehabilitasi.
Kedua idak merusak lingkungan, ketiga tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya, dan keempat memungut HHBK sesuai jumlah, berat atau volume yang diizinkan.
“Tapi pemungutan HHBK hanya berlaku pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi, tidak berlaku pada Taman Nasional Gunung Ciremai yang statusnya adalah Hutan Konservasi sesuai Pasal 278 Permen LHK Nomor 8 Tahun 2021,” jelas Dekan Fakultas Hukum Uniku itu
Terkait dugaan di mata masyarakat ada main mata antara pengusaha, kementrian, Balai TNGC dan Kepolisian dalam penanganan kegiatan penyadapan getah pinus tanpa izin di Taman Nasional Gunung Ciremai, maka apabila dugaan itu tidak benar sudah sepantasnya para terduga pelaku untuk segera ditangkap dan ditindak secara tegas./tat azhari


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.