DI NEGERI INI, jabatan masih dianggap sebagai mahkota. Ia dikawal seremoni, disambut karangan bunga, bahkan kadang diratapi bila berpindah tangan. Kita seolah lupa, bahwa kekuasaan bukan tempat menetap. Ia adalah ladang: siapa menanam dengan niat, akan menuai arti. Siapa hanya duduk, akan ditinggal musim.

Di Kuningan, beberapa nama pejabat berpindah tempat. Mutasi. Sebuah kata yang bisa terdengar sebagai pengembangan karier, bisa pula dibaca sebagai pengasingan. Ada yang tersenyum kecut, ada pula yang kecewa diam-diam. Mereka yang sebelumnya di tengah sorotan, kini harus belajar berjalan di pinggiran.


Padahal, bukankah panggilan seorang pemimpin adalah untuk hadir di mana rakyat membutuhkan? Bukan di mana sorotan paling terang.

Mari melihat sejenak ke luar negeri.

Jacinda Ardern, mantan perdana menteri Selandia Baru, menjadi pemimpin perempuan termuda di dunia saat dilantik di usia 37 tahun. Ia tidak mundur karena skandal atau tekanan oposisi. Ia mundur karena ia sadar: memimpin butuh energi yang jujur. “Saya sudah tidak punya cukup tenaga,” katanya. Tapi ia tidak lari. Ia menyampaikan pengunduran dirinya dengan kepala tegak. Dunia menghormatinya. Kepemimpinan, dalam dirinya, bukan soal lama menjabat, tapi bagaimana ia mengakhiri dengan martabat.

Dari Indonesia, ada nama Sri Mulyani. Ia pernah meninggalkan tanah air untuk menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Tapi ia kembali ketika negara memanggilnya. Bukan untuk jabatan yang lebih tinggi atau lebih aman, tapi untuk mengelola keuangan negara di tengah situasi yang genting. Ia tidak selalu disukai. Tapi ia selalu siap untuk bekerja. Dalam dirinya, jabatan bukan pelindung diri, melainkan ladang tanggung jawab.

Lalu kita melihat ke sekeliling. Saat pemimpin dunia tahu kapan waktunya mundur, di negeri ini justru ada lembaga setingkat Mahkamah Konstitusi yang mengubah aturan hanya untuk satu nama. Usia minimal capres-cawapres dilonggarkan, bukan karena kebutuhan rakyat—tapi demi memastikan satu jalur kekuasaan tetap terbuka. Konstitusi pun akhirnya tunduk pada keluarga.

Di daerah, pemandangannya tak kalah memiriskan. Anggota DPRD di Kota kuda banyak yang menjabat lebih dari tiga periode masih duduk tenang di kursi empuk. Mereka terus mencalonkan diri, meski suara-suara segar muda mencoba tumbuh di sela sela beton politik yang kian beku.

Kekuasaan yang semestinya bergilir, kini seperti benda pusaka: diwariskan, dijaga, dipertahankan mati-matian. Bahkan jika harus menyingkirkan yang tak sejalan.

Sikap-sikap seperti itu membuat kita perlu bercermin lebih dalam:
Apakah kita memeluk jabatan demi rakyat, atau demi rasa nyaman di ruang kekuasaan?

Dan di tengah rotasi, pelantikan, serta janji kinerja, satu hal tetap menuntut perhatian yang lebih jujur: pelayanan publik. Terutama pelayanan kesehatan.

Di RSUD Linggarjati, seorang bayi meninggal. Bukan karena takdir semata, tapi bisa jadi karena sistem yang lambat, ruang yang penuh, atau mungkin tanda tangan yang datang terlambat. Keluarga yang berduka menangis dan mereka tidak peduli siapa yang sedang dimutasi, siapa yang sedang bersiap dilantik. Mereka hanya ingin nyawa ditolong tepat waktu.

Ketika Hotman Paris ikut turun tangan, barulah isu ini terdengar lebih keras. Tapi kita tahu, suara rakyat seharusnya cukup menjadi alarm, bahkan sebelum kamera menyala.

Pelayanan publik bukan hanya soal prosedur, tapi tentang empati. Tentang hadir sebelum diminta, tentang bekerja sebelum disorot.

Para pemegang jabatan yang baru, barangkali sedang menata ruang kerja barunya. Tapi jangan lupa, rakyat menata harapannya lebih dulu. Mereka tidak ingin pejabat yang ingin dilayani. Mereka ingin pelayan yang bisa memimpin.

Sebab jabatan itu sementara. Tapi luka karena pelayanan yang abai bisa tinggal seumur hidup.

Jika mutasi jadi cara merapikan barisan demi kuasa, dan yang tak sejalan pelan-pelan disingkirkan, maka birokrasi bukan lagi tempat pengabdian hanya barisan panjang untuk tunduk dan diam.

Kepemimpinan sejati tidak lahir dari siapa yang duduk di mana tapi dari siapa yang bersedia bekerja, bahkan ketika tidak lagi dipuji.

“Jangan terlalu mencintai jabatan. Karena yang kekal bukan ruang kerja, melainkan jejak kerja.”

Sela Waktu

Ageng Sutrisno