ADA satu perkembangan menarik di Kabupaten Kuningan: pemerintah mulai benar-benar memperhatikan ruang digital. Monitoring dan evaluasi (monev) pengelolaan website dan Instagram perangkat daerah adalah langkah yang patut diapresiasi. Selama bertahun-tahun masyarakat melihat birokrasi sebagai bangunan tinggi, pintu berat, dan informasi yang sulit dijangkau. Kini, lewat monev ini, pemerintah seolah berkata:
“Kami hadir, kami ingin terlihat.”

Dan itu penting. Ruang publik hari ini bukan lagi hanya balai desa, gedung sekolah, atau lapangan terbuka. Ruang publik ada di layar ponsel: lebih cepat dari rapat, lebih dekat dari spanduk, lebih mudah diakses daripada papan pengumuman. Kehadiran pemerintah di dunia digital bukan lagi opsi  itu kewajiban pelayanan.

Namun muncul satu pertanyaan kecil yang cukup menggelitik:
kalau penilaian pengelolaan media sosial hanya dari banyaknya postingan dan jumlah followers… bukankah kita sedang menilai kualitas buku dari tebalnya halaman, bukan dari ceritanya?

Beberapa OPD begitu produktif: ribuan unggahan, aktivitas tanpa henti, dokumentasi sangat rajin. Tapi jika sebagian besar unggahan adalah foto rapat, serah terima plakat, kunjungan kerja, foto bareng, tanda tangan MoU sementara masyarakat mencari syarat layanan, prosedur, hotline, jam operasional, status aduan namun tidak menemukannya…
maka propaganda kinerja telah mengalahkan fungsi pelayanan.

Bahkan, jika tim monev lebih teliti, masih banyak OPD yang tidak menyertakan tagline Kuningan Melesat pada unggahan mereka, padahal itu bagian dari penguatan branding pemerintah. Setali tiga uang: pelayanan jalan, citra pemerintahan pun kuat dua-duanya penting.

Pada titik itu, ruang digital menjadi seperti etalase toko penuh pajangan, tapi barang kebutuhan pokok tidak tersedia.

Ada Instagram, ada akun resmi, ada postingan setiap hari tapi pelayanan tetap jauh.
Yang berbeda hanya kemasan, bukan kedekatan. Padahal masyarakat tidak meminta keajaiban. Cuma ingin hal sederhana: dibalas, dijelaskan, diperhatikan.

Digital Governance

Dalam standar digital governance, ada tiga indikator utama keberhasilan media sosial pemerintah:

  1. Relevansi Konten terhadap Kebutuhan Publik

Medsos pemerintah bukan soal “kami bekerja”, tapi soal “ini manfaat pelayanan untuk Anda.”
Artinya konten harus:

  • Menjawab kebutuhan masyarakat (info layanan, prosedur, hotline, syarat administrasi, jadwal, pengumuman penting)
  • Mempermudah warga mengambil keputusan
  • Prioritas pada informasi layanan, bukan aktivitas seremonial

Jika masyarakat mendapatkan jawaban di media sosial pemerintah, itu artinya fungsi pelayanan berjalan.

  1. Kualitas Visual dan Storytelling

Media pemerintah bukan ruang yang kaku bahasa visual menentukan pemahaman.

Ciri ideal:

  • Visual mudah dipahami dalam hitungan detik
  • Infografis, reel tutorial, FAQ
  • Gaya komunikasi humanis dan sederhana
  • Bukan sekadar poster formal penuh teks dan logo

Tujuannya: membuat informasi publik mudah diakses & dipahami dengan cepat.

  1. Interaksi Dua Arah

Media pemerintah bukan papan pengumuman saja itu ruang komunikasi.

Yang diukur bukan hanya postingan, tapi juga:

  • Balasan komentar warga
  • Respons terhadap DM/aduan
  • Kecepatan & sopan santun menanggapi
  • Menyimpan pertanyaan publik sebagai bahan konten FAQ

Masyarakat merasa didengar dan dibantu bukan sekadar ditonton.

Aspek Tidak Ideal Ideal
Jenis Konten Rapat & seremonial Informasi layanan, tutorial, klarifikasi isu
Bahasa Formal kaku Humanis, ringkas, mudah dipahami
Respon Publik Komentar dibiarkan Dibalas dengan sopan & solutif
Visual Template monoton Infografis, reel tutorial, storytelling
Tujuan Publikasi Pelayanan & kedekatan

 

Bayangkan jika konten OPD seperti ini:

Akun Dinkes:

  • “Cara cek status BPJS aktif/tidak 2 menit selesai, tanpa datang ke kantor.”
  • “Pertolongan pertama saat demam pada anak — simpan biar nggak panik tengah malam.”
  • “Sering ditanya: imunisasi boleh nggak kalau anak sedang pilek? Ini jawabannya.”

Akun Dishub:

  • “Daftar trayek & tarif angkot terbaru, screenshot biar nggak salah naik.”
  • “5 titik rawan kecelakaan minggu ini, pengendara wajib waspada.”
  • “Cara menghubungi petugas Dishub hotline & prosedurnya.”

Akun Dinsos:

  • “Panduan daftar DTKS kriteria, dokumen, dan durasi verifikasi.”
  • “Bantuan apa saja untuk lansia, yatim, dan difabel? Simak daftar lengkapnya.”
  • “Sering ditanya: apakah penerima PKH boleh bekerja? Ini penjelasan resminya.”

Akun Disdikbud:

  • “Cara pindah sekolah antar kabupaten 4 langkah & dokumen yang dibutuhkan.”
  • “Jadwal PPDB simpan biar nggak ketinggalan gelombang.”
  • “Sering ditanya: apakah rapor digital setara dengan rapor fisik? Ini jawabannya.”

Itulah konten yang kita butuhkan bukan sekadar ditonton, tapi membantu hidup masyarakat berjalan lebih mudah.

Penutup

Gagasan ini bukan untuk menjatuhkan siapa pun. Justru sebaliknya  ini bentuk dukungan agar langkah perubahan tidak berhenti di permukaan. Monev medsos ini adalah pintu masuk.
Tapi setelah pintu dibuka, jangan hanya berdiri di ambang. Masuklah.

Karena tujuan akhirnya bukan banyaknya postingan, melainkan banyaknya urusan warga yang terselesaikan. Bukan tingginya followers, melainkan tingginya kepercayaan. Jika ruang digital pemerintah menjadi tempat warga merasa didengar, dibantu, dan terhubung, maka internet bukan lagi panggung pencitraan melainkan jembatan pelayanan.

Dan untuk itu, tetap ada apresiasi: Pemkab Kuningan sudah berani memulai perjalanan ini.
Kesadaran adalah separuh perubahan. Sisanya hanya soal keberanian untuk memperbaiki pelan-pelan, konsisten, dan tidak alergi kritik.

Karena cinta daerah bukan hanya soal memuji tapi juga berani mengingatkan agar Kuningan benar-benar melesat, bukan malah meleset.

 

Ageng Sutrisno

Penulis Sela Waktu, rubrik mingguan reflektif di inilahkuningan.com

Biasa menulis tentang hidup, politik, dan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan statistik.
Kalau tidak menulis, biasanya sedang mikir kenapa harga nasi goreng terus naik.