Milad I, Masjid Nurul Islam Peduli Karangtawang Menuju “Jogokariyan” Kuningan
INILAHKUNINGAN— Di tengah derasnya arus modernisasi yang sering kali menjauhkan masyarakat dari pusat-pusat spiritualitas, sekelompok warga di Desa Karangtawang, Kecamatan Kuningan, memilih jalur berbeda. Mereka justru ingin menghidupkan kembali fungsi masjid sebagai pusat kehidupan umat. Dengan semangat gotong royong dan keikhlasan, mereka mencita-citakan Masjid Nurul Islam menjadi versi “Jogokariyan”-nya Kuningan, sebuah masjid yang bukan hanya tempat ibadah, tapi juga episentrum kegiatan sosial, pendidikan, ekonomi, dan kemanusiaan.
Program Masjid Nurul Islam Peduli (MNIP) lahir setahun lalu dari gagasan beberapa tokoh setempat seperti H. Tatang Suharta, Subaryadi Yusuf, dan Dr. Anwar Bahrudin. Mereka didukung penuh oleh jajaran DKM dan Pemerintah Desa Karangtawang. Gerakan ini berangkat dari kesadaran bahwa masjid tak seharusnya hanya hidup di waktu salat, melainkan menjadi tempat warga mencari solusi atas berbagai persoalan sosial.
Ketua pelaksana Milad Pertama MNIP, Subaryadi Yusuf, menyebut gerakan ini bermula dari inisiatif Dewan Masjid Indonesia Kabupaten Kuningan untuk mencetak 100 masjid aktif, termasuk 10 masjid unggulan. Dari situ, pengurus Masjid Nurul Islam terpacu untuk menjadi percontohan.
“Kami ingin memakmurkan dan dimakmurkan masjid. Jadi bukan hanya jamaah yang berinfak untuk masjid, tapi masjid juga memberi manfaat langsung bagi umat,” ujar Subaryadi yang sering disapa SBY (9/10).
Dalam setahun perjalanan, MNIP telah menyalurkan berbagai program sosial. Setiap bulan, mereka menyalurkan 60 paket sembako untuk keluarga kurang mampu, memberikan santunan bagi 15 warga yang sakit menahun, dan menyantuni anak yatim hingga usia 13 tahun. Tak berhenti di situ, mereka menggelar “Subuh Raya”, sebuah kegiatan yang memadukan salat berjamaah, kajian subuh, dan bazar sarapan gratis hasil kolaborasi dengan pelaku UMKM lokal.
“Kami beli makanan dari 15 UMKM, masing-masing menyediakan 70 porsi. Jamaah mendapat voucher yang bisa ditukar dengan hidangan usai pengajian. Jadi semua bergerak: masjid hidup, UMKM hidup, masyarakat senang,” tutur Subaryadi.
Masjid Nurul Islam kini juga dikenal sebagai “masjid ramah musafir”. Setiap orang yang sedang dalam perjalanan bisa beristirahat di area masjid, menikmati kopi atau teh manis gratis, menggunakan Wi-Fi, bahkan bermalam jika perlu. Beberapa musafir dari luar daerah seperti Bekasi dan Kalimantan mengaku kagum dengan keramahan pengurus dan jamaah masjid ini.
Puncak perjalanan satu tahun MNIP ditandai dengan Milad Pertama yang menghadirkan narasumber langsung dari Masjid Jogokariyan Yogyakarta. Sosok-sosok yang menginspirasi mereka sejak awal, datang membagikan ilmu manajemen masjid modern, dari pengelolaan infak, pemberdayaan jamaah, hingga membangun kemandirian ekonomi berbasis masjid.
Namun Subaryadi tak menutup mata pada tantangan besar yang masih dihadapi. Salah satunya adalah membangkitkan kesadaran bersedekah masyarakat secara luas.
“Kami masih banyak dibantu penyandang dana tertentu. Ke depan, kami ingin semangat sedekah ini tumbuh dari jamaah sendiri. Seperti di Jogokariyan, masyarakatnya begitu bersemangat memberi,” ucapnya.
Ke depan, MNIP berencana membentuk yayasan resmi agar gerakannya lebih terarah. Mereka juga tengah menyiapkan Badan Usaha Milik Masjid (BUMM) untuk menopang kegiatan sosial dan pemberdayaan ekonomi umat.
Cita-cita besar itu mungkin masih panjang, tapi tekad mereka jelas, menghadirkan masjid yang hidup, melayani, dan menjadi rumah bagi semua. Jika Jogokariyan telah menjadi simbol masjid berdaya di Yogyakarta, maka warga Karangtawang berharap Nurul Islam kelak dikenang sebagai “Masjid yang Menyapa Umat” di Kuningan. (Bubud Sihabudin)


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.