INILAHKUNINGAN- Pernikahan merupakan ikatan perjanjian yang kuat diantara dua orang yang berakad. Konsekuensinya harus saling menjaga, saling memahami, dan saling menghargai satu sama lain. Hubungan dua orang yang telah menikah adalah hubungan yang dihalalkan oleh agama. Hak dan kewajibannya pun harus dipahami, agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari.

Sayangnya, dalam pernikahan masih banyak kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Seperti yang sedang viral beberapa hari ini, diduga adanya KDRT di salah satu pasangan selebriti. Dampaknya, istrinya harus dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif.

Selain itu, ternyata sebanyak 156 kasus KDRT terjadi di Kota Yogyakarta hingga Agustus 2022. Sebanyak 24 kasus telah yang diajukan ke persidangan. Menurut Kepala DPPAPP dan KB Kota Yogyakarta, Edy Muhammad mengatakan angka tersebut merupakan data dari Sistem Informasi Gender dan Anak (SIGA). Hanya saja, faktor penyebabnya masih ditelusuri, karena beragam kisahnya. Hingga saat ini masih terus dilakukan pendampingan, agar meminimaliasir terjadi KDRT. (rctiplus.com, 02/10/2022).

*Penyebab KDRT*

KDRT memang masih menjadi pembahasan di negeri ini. Dari tahun ke tahun, angkanya masih terus bertambah. Padahal sudah ada undang-undang yang mengatur KDRT agar dihapuskan dan tidak terulang kembali. Sayangnya, aturan hanyalah aturan, KDRT tetap terjadi.

Jika ditinjau dari penyebabnya, banyak faktor yang melatarbelakangi. Misalnya persoalan ekonomi, kehadiran orang ketiga, atau faktor sosial budaya. Atau bahkan ada yang beranggapan bahwa kekerasan merupakan hal yang lumrah, sehingga menjadi lebih sulit diatasi.

Dilansir dari suaramerdeka.com, beberapa penyebab KDRT yaitu:
1. Budaya patriarki
Ini karena faktor suami menganggap dirinya lebih unggul dan dominan dalam keluarga. Atau bisa juga istri yang lebih unggul dalam segala hal, seperti ekonominya, atau kedisiplinannya. Sehingga, adanya anggapan bahwa rumah tangga didominasi oleh salah satu pihak.

2. Perselingkuhan
Apabila suami atau istri yang berselingkuh lebih beresiko mengalami kekerasan fisik daripada mereka yang tidak memiliki pasangan lain di luar pernikahan. Dimana perselingkuhan inipun bisa disebabkan banyak faktor, seperti pasangannya terlalu sibuk, tidak bersyukur dengan pasangan sehingga terus melihat pasangannya banyak kekurangannya, dan sebagainya.

3. Trauma pada masa lalu
Individu yang pernah mengalami KDRT, punya kemungkinan lebih besar melakukan hal yang sama saat dewasa. Sehingga, bisa melampiaskan rasa kesal atau kecewanya kepada pasangannya. (04/10/2022).

Dari beberapa faktor diatas, sebenarnya KDRT sudah diantisipasi oleh pemerintah melalui undang-undang. Dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga berisikan setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya. Jika tidak akan terkena sanksi pidana berdasarkan fakta KDRT yang terjadi.

Disanalah, harapan kasus KDRT berkurang bahkan tidak ada lagi. Sayangnya, UU tersebut tidak memberikan efek jera bagi pelakunya. Lantas, bagaimanakah mengatasinya?

*Mendambakan Pernikahan yang Harmonis*

Pada dasarnya kasus KDRT bukan hanya sebatas faktor-faktor diatas, tetapi bisa lebih dari itu. Karena, kekerasan oleh suami bukan semata adanya pembangkangan istri, tetapi bisa jadi karena sikap temperamen suami yang terbentuk lingkungan sekuler. Lingkaran yang bisa melakukan apapun terhadap istri, karena merasa harus ditaati dan dihormati.

Serta bisa juga, tindakan KDRT disebabkan stres akibat tekanan hidup dan beban kerja yang terbentuk karena lingkungan kapitalistik. Pun, tabiat istri yang lisan dan pergaulannya kurang terjaga karena lingkungan liberal turut memicu terjadinya KDRT.

Disinilah perlu, mengevaluasi keduanya agar terjalin hubungan yang harmonis. Karena akar masalah KDRT secara hakiki bukan karena ketimpangan gender, melainkan akibat penerapan asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan. Imbasnya, hubungan suami dan istri tidak diatur sesuai syariat-Nya. Tetapi diatur oleh kepentingan masing-masing atau asas manfaat saja.

Oleh karena itu, dalam mengarungi kehidupan rumah tangga harus menghadirkan kesadaran ruhiyah bahwa pergaulan yang baik antara suami dan istri adalah wasiat Allah dan Rasul-Nya. Artinya, masing-masing memahami hak dan kewajibannya secara baik dan dilakukan karena semata-mata mengharapkan rido Allah Swt.

Adapun jika seorang istri melakukan pembangkangan, maka seorang suami harus menasihatinya terlebih dahulu. Dan suami harus mengetahui terlebih dahulu, batas pembangkangannya seperti apa. Ketika dinasihati tetap membangkang, maka suami boleh mendiamkan istri di tempat tidurnya (hajr). Kalau sampai tahap ini istri masih membangkang, ta’dib adalah jalan terakhir.

Adapun syarat melakukan ta’dib adalah pertama, memukul bukan pada tempat yang dilarang, seperti wajah. Kedua, memukul tidak pada tempat yang membahayakan, misalnya pelipis, perut, jantung, dan organ vital lainnya. Ketiga, memukul tidak dilakukan dengan kekuatan penuh sehingga menyakitkan, misal menimbulkan bekas luka, merusak anggota tubuh, atau bahkan pukulan mematikan.

Jika ketiga syarat ini dilanggar, suami bukan lagi mendisiplinkan istri, tetapi sudah melakukan tindakan kriminal (KDRT) dan sangat tidak diperbolehkan dalam Islam. Korban dipersilakan melaporkan perbuatan suami kepada pihak berwajib. Negara akan menetapkan sanksi tegas bagi pelaku KDRT.

Itulah indahnya aturan Islam ketika diterapkan di tengah-tengah keluarga. Akan ada keharmonisan didalamnya, ketenangan, dan ketentraman. Karena hubungan suami istri itu bagaikan sahabat, artinya akan saling ketergantungan satu sama lain.
Wallahu’alam bishshawab.**

_Oleh Citra Salsabila_
(Pegiat Literasi)