NEGARA, suatu pagi, datang ke meja makan anak-anak. Ia membawa janji dalam kotak plastik, dalam nasi yang katanya bergizi, dalam keyakinan bahwa masa depan bisa diperbaiki dari dapur. Program Makan Bergizi Gratis lahir dari niat yang nyaris tak bisa dibantah: menyelamatkan generasi dari kekurangan gizi, menambal tubuh-tubuh kecil yang tumbuh di tengah keterbatasan. Di atas kertas, ia rapi. Di pidato, ia terdengar luhur.

Namun seperti banyak hal yang lahir di pusat dan dibesarkan di daerah, jarak sering kali mengubah makna. Yang semula bernama harapan, perlahan menjelma pertanyaan.

Di Kuningan, MBG tak hanya hadir sebagai makanan. Ia hadir sebagai cerita dan cerita itu tidak selalu sedap. Cerita pertama datang dari tubuh anak-anak. Beberapa dari mereka pulang sekolah dengan perut bergejolak. Mual, muntah, diare. Tubuh yang seharusnya menerima asupan, justru menolak. Sebuah dapur dihentikan operasionalnya. Negara, untuk sesaat, menginjak rem.

Di sini, kita mulai ragu: apakah gizi memang bisa dipercepat, sementara kehati-hatian tertinggal di belakang?
Keraguan itu menemukan wujudnya yang lebih konkret ketika laporan-laporan lain bermunculan. Makanan berjamur. Lauk basi. Bahkan belatung makhluk kecil yang biasanya hanya muncul ketika sesuatu telah terlalu lama diabaikan.
Belatung bukan sekadar soal higienitas. Ia adalah tanda waktu yang dibiarkan berjalan tanpa pengawasan. Ia adalah metafora tentang sistem yang membusuk pelan-pelan, jauh sebelum baunya tercium publik.

Lalu, cerita berbelok ke ironi yang lebih sunyi. Ketika makanan tak datang, yang tiba justru uang. Receh. Dua ribu lima ratus hingga delapan ribu rupiah. Cukup untuk apa? Mungkin sebungkus jajanan. Mungkin juga tidak.
MBG, yang sedari awal dirancang sebagai program pangan, tiba-tiba kehilangan substansinya. Ia berubah bentuk, tapi juga kehilangan makna. Dari sepiring makanan menjadi selembar uang dan dari intervensi gizi menjadi sekadar penggugur kewajiban.
Di balik semua itu, dapur-dapur MBG ternyata tidak selalu hangat. Konflik muncul. Relawan ribut. Tuntutan mencopot kepala dapur terdengar. Ada soal manajemen, soal absensi, soal rasa tak dihargai.

Orang-orang yang setiap hari berdiri di depan kompor, mengaduk panci besar demi ratusan anak, justru kelelahan dalam senyap. Beberapa bahkan mengaku belum menerima gaji berbulan-bulan. Mereka memberi makan, sambil menahan lapar keadilan.
Sulit berharap pada kualitas, jika yang bekerja diperlakukan sekadar sebagai angka.

Keganjilan itu semakin berat ketika isu anggaran ikut masuk ke meja. Anggaran besar, kata banyak orang. Tapi kualitas mengapa terasa ringkih? LSM dan masyarakat mulai bertanya bahkan menuduh. Ada dapur yang disebut nakal. Ada dana yang diduga dimanipulasi. Jika ini benar, maka persoalannya bukan lagi administratif. Ini adalah soal moral.

Anak-anak dijadikan wajah program. Senyum mereka dipajang dalam rilis dan spanduk. Tapi di belakang layar, ada kemungkinan tangan-tangan dewasa bermain-main dengan angka. Jika demikian, yang dicuri bukan hanya uang negara melainkan kepercayaan.
Pemerintah daerah kemudian turun tangan. Satgas dibentuk. Evaluasi digelar. Kata “perbaikan” diulang dalam berbagai forum. Semua tampak bergerak.

Namun publik belajar satu hal dari pengalaman panjangnya: gerak tidak selalu berarti arah. Yang ditunggu bukan sekadar rapat, melainkan keterbukaan. Bukan hanya klarifikasi, melainkan konsekuensi. Bukan sekadar janji, melainkan perubahan yang bisa dirasakan di piring makan, di tubuh anak-anak.

Setelah dibentuk satgas di daerah ternyata masih ada kendala. Sejujurnya wewenang mereka tidak sekuat apa yang dikira, karena program MBG ini terlalu vertikal dari BGN langsung. Hal ini menjadikanya seperti macan ompong.

Namun pekan ini Pejabat BGN mengumumkan bahwa wewenang kepala daerah akan diperluas bahkan katanya bisa memberikan sanksi kepada dapur yang “bandel”. Rabu, 17 Desember 2025 semua kepala derah di Jawa Barat berkumpul di Bandung. Bahasanya tentang MBG. Harapan saya semoga kepala daerah dan tim satgas diberi wewenang penuh untuk mengawasi, membina dan memberi sanksi. Agar kelak, macan ompong berubah menjadi macan bertaring yang siap menjaga amanah negara untuk rakyat.

Di sisi lain, Kita butuh solusi nyata, bukan sekadar rapat tertutup. Pemerintah Kuningan perlu menciptakan Dashboard MBG Publik yang bisa diakses siapa saja yang menampilkan daftar vendor, rincian menu harian, hingga serapan anggaran secara real-time. Kita juga butuh Nomor Aduan Warga yang responsif, di mana setiap laporan makanan basi ditindaklanjuti dengan sanksi tegas dalam 1×24 jam, bukan hanya formalitas “akan dievaluasi”.

Tulisan ini bukan hendak menolak program. Sebaliknya, ia ingin mengingatkan: program sebaik apa pun bisa kehilangan ruhnya jika dijalankan tanpa kehati-hatian dan empati. Ini bukan soal politik. Bukan tentang siapa di pihak mana. Ini soal perut anak-anak yang tidak bisa bernegosiasi. Soal tubuh kecil yang menyerap apa pun yang kita berikan baik atau buruk.

Gizi bukan eksperimen. Anak-anak bukan kelinci percobaan.
Jika ada yang keliru, ia harus diluruskan. Jika ada yang lalai, ia harus bertanggung jawab.
Jika ada yang bermain-main, ia tidak pantas berada di dapur masa depan.
Dan kita, publik, tidak boleh sekadar menjadi penonton. Karena diam, dalam perkara seperti ini, sering kali lebih berbahaya daripada salah.

Pernahkah kamu atau keluargamu menemukan kejanggalan dalam program Makan Bergizi Gratis?
Cerita-cerita itu penting. Ia adalah bagian dari pengawasan yang paling jujur.
Awasi.
Kritik.
Jangan diam.

Ageng Sutrisno
Penulis Sela Waktu
Menulis tentang hidup, politik, dan hal-hal yang sering luput dari statistik.
Jika sedang tidak menulis, biasanya sedang berpikir kenapa harga nasi goreng tak pernah benar-benar turun.