Ketika Pemerintah Tak Perlu Kasih Uang, Cukup Buka Ruang”

KOTA kecil seperti Kuningan tidak sedang kekurangan potensi, melainkan ruang untuk menyalakannya. Salah satunya: Car Free Night. Sebuah gagasan sederhana menutup sebagian jalan, tetapi membuka banyak peluang.


Bayangkan ruas Siliwangi dari perempatan Citamba hingga Taman Kota yang pada hari sabtu malam minggu berubah menjadi koridor manusia: ada aroma kopi, lampu-lampu UMKM, pedagang kaki lima, anak muda berfoto, dan keluarga berjalan santai tanpa bising kendaraan. Malam tak lagi sepi, melainkan hidup dan bernilai.

Selama ini, banyak kawasan kuliner di Kuningan seperti Puspa Langlangbuana sepi bukan karena makanannya kurang enak, melainkan karena traffic-nya mati.

Dalam teori pemasaran kota (urban marketing), yang terpenting bukan sekadar promosi, tapi menciptakan arus manusia. Traffic creates transaction; presence creates perception.

Jika pemerintah belum mampu memberi subsidi layak yang  langsung kepada pelaku usaha kecil, maka berikanlah traffic arus pengunjung yang menghidupkan ekosistemnya. Dari sanalah ekonomi lokal mulai berdetak.

Menghidupkan Ekonomi Kreatif

Dalam konteks ekonomi kreatif, Car Free Night bukan sekadar acara jalan kaki. Ia adalah ruang publik yang mempersilakan warga menjadi bagian dari cerita kota. Street musician bisa tampil tanpa sponsor, UMKM kuliner bisa menjual rasa yang jujur, dan komunitas kreatif punya panggung organik.

Ketika interaksi meningkat, maka nilai ekonomi ikut tumbuh dari aktivitas sosial. Inilah prinsip dasar creative economy: nilai tambah muncul dari ide dan interaksi, bukan sekadar produk.

Beberapa kota di Indonesia telah membuktikan itu. Di Bandung, kawasan Asia-Afrika menjadi makin hidup ketika event Car Free Night atau Braga Free Vehicle dihelat. Di antara gedung tua dan lampu kota, warga berjalan santai sambil menikmati jajanan lokal.

Para pedagang kaki lima bahkan mencatat adanya peningkatan transaksi hingga Lebih dari 100% di setiap penyelenggaraanya.

Memberi Ruang Bukan Bantuan

Kota Batu, Malang Raya, malah ada pengusaha yang mengejar ceruk market malam hari dengan membuat konsep wahana spesialis malam bertajuk Batu Night Spectaculer. Setiap malam, arena tersebut disulap menjadi ruang keluarga.

Bukan sekadar hiburan, tapi tempat di mana anak-anak muda  dan keluarga menghabiskan malam dengan kebahagiaan dan keceriaan. Pemerintah Batu mencatat, gegap gempita hiburan di malam hari telah membantu menekan angka pengangguran anak remaja dengan cara yang sederhana: memberi ruang, bukan bantuan.

Kuningan pun sebenarnya punya semua bahan itu kuliner yang lezat, masyarakat yang kreatif, dan suasana alam yang menenangkan. Yang kurang hanya satu: ruang yang memberi napas pada malam.

Terlalu lama Kuningan dikenal hanya sebagai kota siang. Saat matahari terbenam, ekonomi ikut tidur. Padahal, justru di malam hari potensi wisata dan UMKM bisa menyala paling terang.

Dengan pengelolaan yang terukur misalnya uji coba tiap sabtu malam minggu pukul 18.00–24.00 Car Free Night bisa menjadi laboratorium kecil ekonomi rakyat.

Bayangkan anak-anak muda lokal membuka lapak kopi, seniman memainkan lagu akustik di trotoar, keluarga kecil duduk menikmati jagung bakar sambil menyaksikan street performance komunitas kreatif.

Polisi lalu lintas tersenyum, bukan karena jalan kosong, tapi karena warganya bahagia tanpa chaos. Media sosial pun akan penuh dengan tagar: #Kuningancaang, #CarFreeNight, #KulinerPuspaRameLagi.

Lebih jauh, Car Free Night juga punya efek komunikasi sosial. Dalam teori public trust, kepercayaan publik tumbuh ketika pemerintah hadir dalam hal-hal yang sederhana namun terasa manfaatnya.

Menutup jalan untuk memberi ruang rakyat berdagang adalah bentuk kehadiran yang paling konkret. Rakyat tidak menuntut bantuan dana, mereka hanya ingin diberi tempat untuk hidup dan berkembang. Kadang, membangkitkan ekonomi tak selalu butuh anggaran cukup ide brilian dan keberanian untuk menutup jalan dan membuka kesempatan.

Kuningan bisa memulai dari hal kecil: menata rute Citamba–Taman Kota, menyiapkan tim keamanan dan kebersihan, serta menggandeng komunitas kreatif untuk tampil bergilir. Tak perlu megah, tak perlu seremonial. Cukup konsisten, terukur, dan menyenangkan.

Sebab, kota yang hidup bukan yang banyak proyeknya, tapi yang banyak ceritanya. Dan mungkin, suatu hari nanti, kita akan berkata dengan bangga:

✨ “Kuningan Caang Itu Bernama Car Free Night.” ✨

Ageng Sutrisno

Penulis Sela Waktu, rubrik mingguan reflektif di inilahkuningan.com

Biasa menulis tentang hidup, politik, dan hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan statistik.
Kalau tidak menulis, biasanya sedang mikir kenapa harga nasi goreng terus naik.