DALAM dunia kepemimpinan, lidah adalah janji, dan laku adalah bukti. Tapi di Pati, keduanya sedang bertolak belakang. Sudewo, Bupati yang sempat meyakinkan publik dengan narasi empatik “sangat kasihan kepada rakyat jika peningkatan PAD bertumpu pada sektor pajak”. Hari ini justru menjadi simbol dari apa yang dulu ia kritik sendiri.

Kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan hingga 250% bukan sekadar kebijakan teknokratis. Ini adalah keputusan yang mengguncang ekonomi rakyat kecil. Lebih parahnya lagi, cara Sudewo menyampaikan kebijakan ini tak ubahnya seorang penguasa yang lupa bahwa ia dipilih, bukan diturunkan dari langit.

Pernyataan “Silakan demo, 50 ribu orang pun tak akan mengubah keputusan” bukan sekadar arogansi, tapi tamparan terhadap prinsip pelayanan publik yang beradab. Dalam teori komunikasi publik, ini disebut sebagai high-power distance communication. Sebuah bentuk relasi vertikal yang menutup ruang dialog.

Padahal, dalam debat publik jelang Pilkada, Sudewo sendiri menyuarakan kekhawatiran jika PAD bertumpu pada pajak dan retribusi. Ia bahkan menyebut perlunya skenario elegan. Begini transkrip lengkap ucapan beliau

“Peningkatan asli daerah bertitik tumpu pada sektor pajak dan retribusi itu sangat kasian kepada rakyat Kab.Pati, harus ada Upaya atau skenario yg elegan untuk meningkatkan pendapatan daerah”. Kini, skenario yang muncul justru berjudul “Bukan Kebijakan Elegan Tapi Ejekan.”

Belum reda panasnya pajak, muncul dan beredar viral pula video sebelumnya atraksi Trio Srigala yang bergoyang di Pendopo Kabupaten. Meski sudah meminta maaf, ini menunjukan hal yang sangat ironis di mana suara hiburan sangat diutamakan tapi suara rakyat begitu diabaikan.

Selain itu, menjadi lengkap juga ketika Bupati terlihat sedang nyawer sang biduan. Di ruang yang mestinya sakral sebagai simbol pemerintahan, pertunjukan itu menjadi ironi paling vulgar. Ia bukan hanya menciderai etika birokrasi, tapi juga menertawakan imajinasi publik tentang kepemimpinan yang bermartabat.

Lucunya, Kementerian Dalam Negeri pun ikut lambat menanggapi. Alasan “baru tahu dari media sosial” mengindikasikan lemahnya sistem pengawasan internal terhadap kepala daerah. Pemerintah pusat tak boleh hanya hadir ketika sudah viral; ia harus hadir sejak rakyat mulai resah.

Pejabat Publik Gemar Berkata Asal

Dalam demokrasi yang sehat, setiap kata dari pemimpin semestinya menjadi jembatan bukan jurang antara rakyat dan kekuasaan.

Namun hari-hari ini, kita menyaksikan betapa lidah pejabat sering kali lebih tajam dari logika kebijakan itu sendiri. Prabowo, presiden yang menjabat kepala negara sekaligus kepala pemerintahan menjawab kritik dengan kata “ndasmu” sebuah respons yang lebih cocok keluar dari mulut preman pasar ketimbang negarawan.

Setali tiga uang Kepala PCO menanggapi teror kepala babi di kantor redaksi Tempo dengan candaan menjijikkan: “dimasak saja.” Ini bukan hanya bentuk kebodoran yang gagal lucu, tapi juga pernyataan yang melecehkan kebebasan pers dan rasa keadilan.

Lalu ada Menteri Kesehatan, yang dengan enteng menyebut bahwa pria dengan nomor celana 34-33 pasti obesitas dan cepat meninggal. Hal ini mengabaikan kompleksitas tubuh manusia, menyederhanakan kesehatan jadi bahan olok-olok. Deretan ucapan ini memperlihatkan satu pola yang sama: pejabat publik yang tak siap dikritik, memilih mencemooh ketimbang menjelaskan, dan lebih sibuk membungkam daripada mendengarkan.

Janji Politik : Hanya Gimik

Sudewo yang sudah berjanji tidak akan menaikan pajak untuk peningkatan pendapatan asli daerah pati malah sebaliknya ternyata bukan hanya sendiri. Ditingkat pusat, pola pengingkaran serupa justru menjadi norma. Gibran Rakabuming Raka, wakil presiden terpilih, pernah menjanjikan 19 juta lapangan kerja baru. Sebuah angka fantastis yang kini lebih terdengar seperti angka kosong di spanduk kampanye.

Pemerintah juga pernah sesumbar akan mengejar koruptor sampai ke Antartika, tapi hingga kini, para perampok uang rakyat malah nyaman bermain golf di daerah tropis, bukan membeku di kutub selatan. Janji tinggal janji, realita berubah jadi satire. Demokrasi yang seharusnya dibangun di atas kepercayaan, kini perlahan berubah menjadi panggung ilusi tempat kata-kata besar dilemparkan untuk menutupi niat yang kecil.

Akhir Cerita

Mari kita bermain tebak-tebakan, pola yang sudah terjadi biasanya Adalah muncul masalah akibat kebijakan pejabat yang tidak bijak; Menjadi viral oleh media dan semakin membesar; kemudian pejabat tersebut meminta maaf tanpa ada sanksi, lalu akan ada pahlawan yang berusaha tampil seolah-olah paling berjasa dalam masalah ini.

Apakah pati akan sama ? kita lihat nanti

Lalu, bagaimana dengan Kuningan saat ini ? Isue TTP yang akan dipotong vs Pokir anggota dewan yang tetap nampaknya akan berjalan mulus tanpa skenario elegan. Endingnya kita sudah tahu. Hal ini seperti sebuah kemustahilan jika pokir akan berkurang. Apa benar demikian ? Biar waktu yang akan menjawab gamblang.

“Nampaknya, di negeri ini kesalahan bukan untuk dipertanggungjawabkan, tapi untuk dipoles agar terlihat seperti kemakluman yang bisa diulang, ditularkan dan dibudayakan.”

Ageng Sutrisno

_Sela Waktu