Kejujuran Demokrasi Indonesia: Ketika Sistem Tidak Lagi Pura-Pura
KITA sering membanding-bandingkan demokrasi Indonesia dengan negara-negara barat yang katanya lebih beradab, lebih bersih, dan lebih tertib. Padahal kita sedang membandingkan sandiwara yang berbeda panggunya. Di sana, aktor-aktornya sudah mahir memainkan peran, mereka tahu kapan harus tersenyum dan kapan harus berkompromi dibalik layar. Sedangkan, demokrasi di Indonesia naskahnya sudah terbuka lebar bahkan aktornya sampai lupa menghafal dialog. Tapi itulah letak kejujurannya. Demokrasi di Indonesia sudah dewasa, sudah melepas topeng, sudah berhenti berpura-pura suci. Dan justru di situlah keindah absurdistasnya.
Mari mulai dari apa itu demokrasi? Secara sederhana, demokrasi itu adalah sebuah sistem yang memberi ruang pada semua orang untuk ikut andil dalam menentukan arah hidup bersama. Bukan hanya lewat suara di bilik TPS, tapi lewat wacana, tekanan publik, bahkan lewat demonstrasi. Tapi demokrasi bukan cuma soal “siapa yang menang suara terbanyak.” Demokrasi itu juga tentang bagaimana kepentingan, emosi, dan akal manusia yang saling bertabrakan bisa tetap hidup bersama dalam satu ruang yang sama. Artinya, demokrasi itu tidak mungkin bersih. Ia memang wadah dari kekacaun yang disepakati. Jadi, ketika melihat sistem demokrasi Indonesia penuh transaksi, intrik, dan manuver, itu bukan tanda demokrasi kita rusak, tapi tanda bahwa demokrasi kita jujur. Pemahaman inilah yang menjadi dasar untuk melihat berbagai fenomena politik belakangan ini. Dan di Indonesia kejujuran demokrasinya tampak dari bagaimana cara kotor yang ditunjukan tanpa rasa malu, sedangkan di negara lain disembunyikan.
Mari ambil contoh, menjelang batas akhir pendaftaran capres-cawapres di tahun 2024, publik dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dinilai kontroversial. Perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 terkait usia minimal calon presiden dan calon wakil presiden pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang mana diputukan bahwa, capres-cawapres yang pernah terpilih melalui pemilu, baik sebagai DPR/DPD, Gubernur, atau Walikota dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun. Semua orang tahu siapa yang diuntungkan dari perubahan tersebut, banyak perdebatan muncul dari ruang sidang sampai grup whatshap keluarga. Dan anehnya, ditengah semua kegaduhan itu sistem demokrasi kita tetap berjalan. Di situlah letak kejujuran demokrasi Indonesia, ia tidak menutup-nutupi kepenting di balik aturan. Justru menampilkan dengan gamblang di depan publik, seolah berkata,”Begini loh, cara kekuasaan berkerja.” Ini mungkin tidak etis, tapi jujur. Dan kejujuran itu, betapapun getir, adalah cermin dari demokrasi kita yang tidak pandai berpura-pura.
Contoh lain, kalian semua pasti pernah mendengar istilah “koalisi gemuk.” Koalisi yang berisi hamper semua partai, tanpa ada oposisi yang berarti. Kita mengkritiknya, kita bilang itu membunuh checks and balances. Tapi coba pikir balik, bukankah itu adalah demokrasi yang paling inklusif? Dimana semua pihak duduk bersama di meja yang sama? Bukankah tujuan demokrasi adalah untuk mencegah konflik, bukan menciptakannya? Koalisi gemuk adalah jawaban pragmatis untuk pertanyaan: bagaimana caranya semua orang mendapatkan bagian tanpa harsu saling membunuh? Dan jawaban itu, meski tidak elegan tapi sangat efektif.
Kita semua tahu bahwa, pemilu di indonesia sering kali ricuh, kampaye kita penuh janji-janji manis yang tidak akan ditepati, money poilitics masih banyak terjadi di banyak tempat, pembelian suara, politik identitas, hoaks dan bahkan fitnah. Semua itu ada, semua itu nyata.
Jujur bukan berarti baik, tapi nyata. Lalu apakah itu artinya kita tidak perlu memperbaiki sistem? Tentu saja perlu. Tapi kita juga jangan menipu diri sendiri dengan berpura-pura seolah demokrasi di negara lain itu suci. Di negara maju, money politics dikemas dalam bentuk donasi kampanye yang legal. Hoaks dikemas dalam bentuk spin doctor dan political consultant. Lalu bagaimana dengan politik identitas? Silahkan lihat bagaimana isu ras dan agama dimainkan di Amerika atau Eropa. adi mungkin demokrasi kita bukan jelek, cuman lebih jujur tentang keburukannya. Kita hanya lebih terlanjang dalam menampilkan semua itu. Dan saya kira, kejujuran itu lebih berharga daripada kemunafikan yang dikemas rapi, karena sistem yang tahu dirinya busuk masih bisa berbenah. Yang bahaya itu adalah sistem yang busuk tapi merasa suci.
Sebenarnya kita punya sistem demokrasi dengan mekanisme yang unik, Namanya demokrasi gotong-royong. Dimana keputusan tidak selalu diambil berdasarkan suara mayoritas, tetapi berdasarkan musyawarah mufakat. Mungkin banyak dari kalian yang beranggapan bahwa sistem ini membuat proses keputusan menjadi lambat, membuat keputusan jadi tidak tegas. Tapi pernahkah kalian semua berpikir bahwa mungkin itu adalah kearifan yang sebenarnya? Bahwa keputusan yang baik memang butuh waktu. Bahwa kesepakatan yang sejati lahir dari proses yang Panjang, bukan dari voting cepat?
Demokrasi barat mengagungkan efisiensi. Demokrasi kita mengagungkan kebersamaan. Dan dalam banyak hal, kebersamaan yang lambat lebih berkelanjutan daripada efisiensi yang meninggalkan banyak pihak terluka. Jadi yang perlu kita kritisi bukan sistem demokrasinya, tapi ekspektasi kita terhadap demokrasi. Kita mengharapkan demokrasi membawa kita ke surga. Padahal demokrasi hanya menjanjikan satu hal ”Kebebasan untuk memilih neraka mana yang kita mau.”
Dan itu sudah cukup
Karena dalam kebebasan memilih itulah letak martabat kita sebagai manusia. Sistem demokrasi kita tidak sempurna dalam artian ideal. Tapi sempurna dalam artian: menampilkan denmokrasi apa adanya, tanpa filter, tanpa riasan tebal. Dan mungkin, justru dalam kekacauan yang jujur itulah kita menemukan bentuk demokrasi yang paling manusiawi. Karena manusia memang kacau. Penuh kontradiksi. Penuh kepentingan. Dan sistem yang mengakomodasi kekacauan itu, alih-alih menyembunyikannya, adalah sistem yang paling jujur pada dirinya sendiri.
Penulis: Regar Herlambang
NIM: 2481040056
Kelas T. IPS 3C
Mata Kuliah: Dasar- Dasar Ilmu Politik


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.