Kapitalisasi Ruang Publik Dan Legiltimasi Kekuasaan: Analisis Politik Dibalik Fenomena “Stop Tot Tot Wuk Wuk”
PENDAHULUAN
Kemacetan di kota-kota besar Indonesia sudah lama menjadi problem strktural. Namun, dalam beberapa pekan terakhir, isu kemacetan kian memantik dimensi sosial baru seiring viralnya gerakan Stop Tot Tot Wuk Wuk di media sosial. Istilah sarkastik ini merujuk pada suara sirene dan strobo pengawalan kendaraan pejabat maupun pihak tertentu yang kerap dipandang berlebihan dan mengganggu kenyamanan publik. Gerakan ini lahir sebagai sebuah bentuk kritik kolektif terhadap praktik pengawalan yang dianggap mencerminkan sebuah privilege jalanan serta ketidakadilan dalam akses ruang publik, seolah menempatkan pemegang kekuasaan di atas aturan lalu lintas.
Fenomena dibalik humor atau sindiran belaka dalam penggunaan istilah tersebut, terdapat kritikan serius yang mencerminkan keresahan masyarakat terhadap maraknya penyalahgunaan fasilitas negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, sirene dan strobo hanya diperuntukkan bagi kendaraan tertentu, seperti pemadam kebakaran yang sedang bertugas, ambulans, kendaraan pimpinan lembaga negara, serta kendaraan penegak hukum dalam kondisi darurat. Di luar ketentuan tersebut, penggunaan fasilitas tersebut tergolong pelanggaran hukum. Fakta di lapangan menunjukkan banyaknya kasus penggunaan sirene dan strobo secara tidak tepat, bahkan oleh kendaraan sipil, sehingga menimbulkan kesan adanya kesenjangan hukum dan praktik arogansi di jalan raya.
Dari sisi ilmu politik, fenomena ini berkaitan dengan isu legitimasi, relasi negara masyarakat, serta praktik demokrasi. Legitimasi kekuasaan, sebagaimana dijelaskan oleh Max Weber, menuntut agar otoritas negara dijalankan sesuai dengan hukum dan etika publik. Namun, penggunaan sirene dan strobo secara berlebihan justru melemahkan legitimasi pejabat di mata masyarakat karena mencerminkan kesenjangan perlakuan hukum. Respon warganet melalui media sosial dapat dipahami sebagai bentuk partisipasi politik sekaligus kontrol sosial terhadap praktik kekuasaan yang dianggap menyimpang. Dengan demikian, isu Tot Tot Wuk Wuk bukan sekadar soal lalu lintas, melainkan juga cerminan dinamika politik dan demokrasi di Indonesia.
ISI/PEMBAHASAN
Fenomena “Tot Tot Wuk Wuk” berawal dari keresahan masyarakat kota yang sudah lama menghadapi kemacetan sebagai problem struktural. Namun, penggunaan sirene dan strobo oleh rombongan pejabat atau pihak tertentu dianggap memperparah situasi, bahkan menghadirkan ketimpangan akses jalan. Istilah ini muncul sebagai bentuk sarkasme terhadap bunyi sirene pengawalan, sekaligus menjadi simbol protes terhadap praktik “privilege jalanan” yang menempatkan kelompok tertentu di atas aturan lalu lintas.
Fenomena ini mencerminkan adanya hierarki ruang publik, di mana akses terhadap jalan raya tidak sepenuhnya setara. Warga biasa dipaksa menyingkir, meskipun aturan hukum secara tegas dalam UU No. 22 Tahun 2009 hanya memberikan hak penggunaan sirene kepada kendaraan darurat dan pejabat negara tertentu. Fakta ini memperlihatkan adanya jurang antara teks hukum dan realitas sosial, yang kemudian melahirkan ekspresi kolektif berupa humor, satire, hingga gerakan digital.
Respon publik terhadap fenomena ini terbilang masif. Di media sosial, warganet menyuarakan keresahan melalui berbagai bentuk ekspresi, mulai dari meme, video parodi, hingga kritik terbuka. Seorang pengguna TikTok, misalnya, menulis bahwa dirinya harus terlambat mengantar anak sekolah karena rombongan pejabat melintas dengan sirene. Di X (Twitter), banyak komentar bernuansa satir yang menilai sirene kini bukan lagi simbol darurat, melainkan “simbol kesombongan jalanan”.
Respon publik juga memperlihatkan bagaimana humor menjadi sarana kritik politik. Meme dan parodi tentang “Tot Tot Wuk Wuk” sejatinya adalah bentuk perlawanan simbolik terhadap praktik penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, ekspresi warganet menunjukkan adanya kesadaran kolektif tentang pentingnya kesetaraan di ruang publik, di mana semua pengguna jalan seharusnya memiliki hak yang sama tanpa adanya intervensi privilese.
Dalam kerangka ilmu politik, fenomena ini dapat dibaca melalui teori legitimate power dari Max Weber. Negara memiliki monopoli kekuasaan yang sah, termasuk dalam memberikan prioritas lalu lintas. Namun, ketika kekuasaan itu digunakan secara berlebihan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, muncul delegitimasi di mata publik. Masyarakat menilai negara tidak lagi netral, melainkan memihak pada elit yang diberi akses lebih terhadap ruang publik.
Selain itu, fenomena ini menunjukkan problem rule of law dalam sistem demokrasi. Negara demokratis menekankan prinsip kesetaraan hukum bagi seluruh warga. Namun, ketika hukum lalu lintas hanya berlaku ketat pada masyarakat biasa dan longgar pada pejabat, tercipta ketidakadilan struktural. Hal ini berpotensi menimbulkan erosi kepercayaan publik terhadap institusi negara, sebuah kondisi yang dalam ilmu politik dapat memperlemah legitimasi pemerintahan.
Fenomena “Tot Tot Wuk Wuk” juga memperlihatkan peran strategis media sosial sebagai arena kontrol sosial. Jika di masa lalu kritik terhadap pejabat lebih terbatas, kini warganet mampu menciptakan ruang diskusi terbuka yang viral dan membentuk opini publik. Media sosial menjelma menjadi public sphere baru, di mana masyarakat dapat mengoreksi perilaku penyelenggara negara secara kolektif.
Kritik warganet melalui meme dan satire menjadi bagian dari budaya politik baru yang lebih partisipatif. Dalam jangka panjang, tekanan opini publik yang konsisten berpotensi mendorong pemerintah dan aparat untuk meninjau kembali regulasi dan praktik pengawalan jalan raya. Dengan kata lain, humor yang lahir dari “Tot Tot Wuk Wuk” dapat berkembang menjadi mekanisme demokratis untuk menuntut keadilan dan kesetaraan di ruang publik.
Fenomena ini memiliki implikasi ganda. Dari sisi sosial, ia menunjukkan bahwa masyarakat semakin sensitif terhadap ketidakadilan akses ruang publik. Kesadaran kolektif warga kota menjadi semakin kritis, tidak hanya pada isu besar seperti korupsi atau politik elektoral, tetapi juga pada praktik sehari-hari yang menyangkut hak bersama.
Dari sisi politik, fenomena ini menegaskan bahwa legitimasi negara tidak hanya dibangun melalui kebijakan makro, tetapi juga melalui praktik kecil dalam kehidupan sehari-hari. Jalan raya, sebagai ruang publik, adalah simbol kesetaraan. Ketika kesetaraan itu dilanggar, wajar jika muncul resistensi masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu merespons fenomena ini dengan kebijakan yang lebih transparan, penegakan hukum yang tegas, serta pembatasan ketat terhadap penggunaan sirene dan strobo agar tidak disalahgunakan.
PENUTUP
Fenomena viral “Tot Tot Wuk Wuk” menunjukkan bahwa ruang publik, khususnya jalan raya, telah mengalami bentuk kapitalisasi simbolik. Sirene dan strobo yang seharusnya berfungsi untuk kepentingan darurat berubah menjadi simbol kekuasaan dan privilese, menciptakan hierarki akses jalan yang menempatkan pejabat di atas warga biasa. Situasi ini bukan hanya problem lalu lintas, melainkan juga problem legitimasi kekuasaan dan keadilan sosial, sebab praktik semacam ini memperlihatkan kesenjangan antara aturan hukum dengan realitas di lapangan.
Namun, kapitalisasi ruang publik ini tidak dibiarkan begitu saja. Respon warganet melalui media sosial menjadi bentuk koreksi demokratis yang efektif, dengan menjadikan humor, satire, dan kritik sebagai mekanisme kontrol sosial. Fenomena ini membuktikan bahwa media sosial kini berfungsi sebagai ruang partisipasi politik yang mampu menegur penyalahgunaan kekuasaan dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, “Tot Tot Wuk Wuk” dapat dipandang sebagai momentum refleksi kolektif bahwa ruang publik tidak boleh dikuasai oleh privilese kekuasaan, melainkan harus dikembalikan pada prinsip kesetaraan, keadilan, dan keberadaban bersama.
Oleh : Fitria Ismiati
Mahasiswa Jurusan Tadris Ilmu Pengetahuan Sosial
UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon
Jl Perjuangan By Pass Sunyaragi, Kec. Kesambi Kota Cirebon Jawa Barat 45131
E-mail : fitriaismiati0110@gmail.com


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.