Jiwa Patriot Dokter Diuji Oleh Pancaroba Aturan Kesehatan
PERAN DOKTER di era transformasi kesehatan di Indonesia, khususnya dengan adanya kebijakan seperti transformasi rujukan berbasis kompetensi dan penyesuaian fungsional seperti IRNA CBG (Case Based Groups) dan IRNA DRG (Diagnosis Related Groups), memang menimbulkan dilema menarik antara patriotisme, kesejahteraan, dan pengabdian.
Patriotisme Dokter di Era Transformasi Kesehatan
Patriotisme dokter dapat dimaknai sebagai komitmen kuat untuk melayani masyarakat dan negara, memastikan akses kesehatan yang adil dan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia. Di era transformasi ini, patriotisme diuji dalam beberapa aspek:
* Adaptasi terhadap Perubahan Sistem: Dokter dituntut untuk beradaptasi dengan cepat terhadap sistem baru seperti electronic medical record, telemedisin, dan perubahan regulasi rujukan. Patriotisme di sini berarti kesediaan untuk belajar dan mengimplementasikan sistem demi efisiensi dan kualitas pelayanan nasional.
* Peningkatan Kompetensi yang Berkelanjutan: Dengan rujukan berbasis kompetensi, dokter didorong untuk terus meningkatkan keahlian dan spesialisasinya agar dapat memberikan penanganan yang paling sesuai dan efektif. Ini adalah bentuk patriotisme melalui peningkatan kualitas SDM kesehatan.
* Pemerataan Layanan: Terlibat aktif dalam program-program pemerintah untuk pemerataan tenaga medis, terutama di daerah terpencil atau kurang terlayani, adalah manifestasi patriotisme yang nyata.
* Fokus pada Pencegahan dan Promosi Kesehatan: Transformasi kesehatan juga menekankan upaya promotif dan preventif. Dokter yang patriotik akan terlibat aktif dalam edukasi kesehatan masyarakat untuk membangun bangsa yang lebih sehat.
Kesejahteraan Dokter di Tengah Kebijakan Baru
Sistem Case Based Groups (CBG) dan Diagnosis Related Groups (DRG) pada IRNA (Instalasi Rawat Inap), yang diterapkan dalam kerangka Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), bertujuan untuk mengendalikan biaya dan meningkatkan efisiensi rumah sakit. Namun, sistem ini seringkali menimbulkan kekhawatiran terkait kesejahteraan dokter:
* Penurunan Pendapatan: Di beberapa kasus, penerapan sistem CBG/DRG dapat menyebabkan penurunan remunerasi dokter, terutama jika ada disparitas antara biaya riil perawatan dan klaim yang disetujui. Ini bisa menimbulkan ketidakpuasan dan memengaruhi motivasi.
* Beban Kerja dan Tekanan: Dokter mungkin merasa tertekan untuk menyelesaikan perawatan dalam standar waktu dan biaya yang ditetapkan oleh CBG/DRG, yang berpotensi memengaruhi kualitas pelayanan atau meningkatkan beban kerja.
* Incentive Distortion: Ada kekhawatiran bahwa sistem ini bisa mendorong praktik yang kurang ideal (misalnya, under-treatment atau cherry-picking pasien) jika fokus terlalu dominan pada penghematan biaya, bukan pada outcome pasien.
* Investasi Pendidikan: Dokter menginvestasikan waktu dan biaya besar untuk pendidikan dan pelatihan. Kesejahteraan yang tidak memadai dapat menimbulkan pertanyaan tentang keberlanjutan profesi dan menarik talenta terbaik.
Pengabdian di Era Transformasi Rujukan Berbasis Kompetensi
Transformasi rujukan berbasis kompetensi bertujuan agar pasien mendapatkan pelayanan di faskes yang sesuai dengan tingkat keparahan dan kompleksitas penyakitnya, sehingga sumber daya rumah sakit dapat dimanfaatkan secara optimal. Ini adalah upaya pengabdian dalam skala sistemik:
* Peningkatan Kualitas Rujukan: Dokter di faskes primer diharapkan mampu menangani kasus-kasus dasar dengan kompetensi tinggi dan hanya merujuk kasus yang benar-benar memerlukan penanganan spesialis. Ini adalah bentuk pengabdian untuk efisiensi sistem.
* Kerja Sama Antar Jenjang Fasilitas: Dokter di rumah sakit rujukan harus berkoordinasi dengan baik dengan faskes di bawahnya. Pengabdian terlihat dalam kolaborasi untuk memastikan alur pasien yang lancar dan efektif.
* Fokus pada Pasien: Sistem ini, jika berjalan optimal, seharusnya memastikan pasien mendapatkan penanganan yang tepat di tempat yang tepat, mengurangi antrean panjang dan biaya yang tidak perlu. Ini adalah pengabdian sejati pada patient safety dan patient experience.
* Peningkatan Kualitas Spesialisasi: Dokter spesialis di rumah sakit rujukan kompeten akan lebih fokus pada kasus-kasus kompleks yang sesuai dengan keahliannya, yang merupakan bentuk pengabdian dengan memaksimalkan kapasitas keilmuan.
Menyeimbangkan Tiga Pilar
Harmonisasi antara patriotisme, kesejahteraan, dan pengabdian adalah kunci keberhasilan transformasi kesehatan.
* Pemerintah: Perlu meninjau dan menyesuaikan sistem remunerasi CBG/DRG agar lebih adil dan transparan, memastikan kesejahteraan dokter yang layak tanpa mengorbankan kualitas pelayanan. Investasi dalam infrastruktur kesehatan dan teknologi juga penting.
* Rumah Sakit: Harus mencari model bisnis yang berkelanjutan yang dapat menyeimbangkan efisiensi biaya dengan kualitas pelayanan dan kesejahteraan staf medis. Pengembangan sistem informasi yang terintegrasi akan mendukung efisiensi.
* Organisasi Profesi Dokter: Perlu berperan aktif dalam mengadvokasi kesejahteraan anggota, memberikan edukasi mengenai sistem baru, serta memastikan standar etika dan profesionalisme tetap terjaga.
* Dokter Individu: Diharapkan tetap memegang teguh sumpah profesi dan semangat pengabdian, diiringi dengan semangat lifelong learning dan adaptasi. Namun, suara dokter mengenai tantangan di lapangan harus didengar dan ditindaklanjuti.
Pada akhirnya, patriotisme dokter di era transformasi kesehatan tidak berarti pengorbanan tanpa batas. Ia harus didukung oleh sistem yang memastikan kesejahteraan yang adil, sehingga pengabdian dapat diberikan secara optimal dan berkelanjutan, demi tercapainya kesehatan masyarakat Indonesia yang lebih baik.**
Penulis:
Dr Agus Ujianto MSI Med SpB,
Dirut RSI Sultan Agung Semarang


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.