ADA yang lebih ramai dari festival musik di Kuningan pekan ini. Bukan oleh musik jalanan, tapi oleh debat soal data. Tepatnya: data pertumbuhan ekonomi versi Badan Pusat Statistik (BPS) yang diklaim mencapai dua digit. Angka yang mestinya dingin dan netral, tiba-tiba berubah jadi bara panas di ruang politik.

Ketua DPRD Kuningan, Nuzul Rachdy, menjadi pusat pusaran itu. Ia meragukan klaim BPS dan menyebut angka itu terlalu indah untuk jadi nyata. Katanya, di lapangan masih banyak warga yang kesulitan hidup, harga bahan pokok meroket, dan lapangan kerja belum pulih.

Pertanyaan sederhana tapi menusuk pun ia lontarkan:

“Kalau ekonomi benar-benar tumbuh, kenapa rakyat tidak ikut tumbuh?”

Dan dari sinilah badai dimulai. Komentar Ketua Dewan itu disambut reaksi keras dari banyak arah: peneliti Jamparing Research Center, politisi PSI, tokoh Golkar, organisasi besar sekelas KAHMI turut ambil bagian. Mereka satu suara membela BPS dan menyebut kritik dewan terlalu emosional.

Dalam sekejap, panggung publik terbelah dua: antara mereka yang percaya data, dan mereka yang merasakan realita.

Padahal seharusnya, data adalah jembatan antara pemerintah dan rakyat bukan tembok di antara keduanya. Namun di negeri ini, grafik sering gagal bicara dengan perasaan publik.
Pemerintah bicara lewat angka, rakyat menjawab lewat dapur yang harus ngebul.

Dua Kubu dan Krisis Kepercayaan Publik

Reaksi yang datang begitu cepat justru memperlihatkan satu hal: betapa data telah menjadi alat politik baru. Pihak yang membela BPS menegaskan bahwa metodologi mereka sahih. Sementara pihak yang mengkritik merasa, realitas sosial di lapangan tak seindah angka di kertas.

Sampai di titik ini, debatnya tak lagi soal ekonomi tapi soal kepercayaan: siapa yang pantas dipercaya, data atau rasa?

Padahal, data statistik seharusnya menjadi bahasa bersama. Ketika dua bahasa data dan realita tak lagi bersentuhan, yang runtuh bukan hanya komunikasi, tapi juga kepercayaan.
Dan begitu kepercayaan publik hilang, semua laporan resmi akan terdengar seperti iklan, bukan kebenaran.

Tidak Hanya di Kuningan

Fenomena ini bukan monopoli Kuningan. Secara nasional pun, data BPS kerap diragukan kredibilitasnya terutama saat hasilnya tidak sejalan dengan pengalaman publik.

Lembaga riset seperti CELIOS (Center of Economic and Law Studies) bahkan pernah menyoroti ketidaksinkronan antara klaim pertumbuhan ekonomi nasional dan menurunnya daya beli masyarakat.Dalam beberapa forum, CELIOS bahkan mendorong agar pemerintah membuka proses validasi data ekonomi ke lembaga internasional seperti Bank Dunia atau IMF, untuk memastikan transparansi dan memperkuat trust publik.

Langkah itu menunjukkan satu hal penting: rakyat bukan tidak mau percaya, tapi terlalu sering dikecewakan oleh angka tanpa konteks. Kita seolah lupa, statistik bukan hanya kumpulan rumus, tapi juga potret kehidupan yang berdenyut.

“Ketika pemerintah mengumumkan ekonomi tumbuh 10%, masyarakat tidak bertanya berapa persen inflasi mereka bertanya, kenapa harga beras masih naik.”

Itu bukan bentuk anti-data, melainkan tanda bahwa data belum menjelma jadi rasa.

Sayangnya, dalam politik hari ini, angka sering dipakai seperti alat kosmetik: mempercantik wajah kekuasaan, tapi tidak menjawab luka rakyat. Ketika angka menjadi alat pembenaran, bukan alat perbaikan, publik secara naluriah akan menarik diri.
Lama-lama, bahkan data yang benar pun dianggap dusta karena yang rusak bukan metodologinya, melainkan reputasinya.

Politik Data dan Kepercayaan yang Retak

Kasus Kuningan hanyalah cermin kecil dari gejala besar: krisis trust terhadap negara dan perangkatnya. Dari pusat hingga daerah, kepercayaan publik terhadap data pemerintah terus menurun. Padahal, dalam demokrasi modern, trust adalah mata uang paling mahal.

Begitu ia hilang, semua kebijakan akan terdengar seperti promosi, bukan solusi.
Karena bagi rakyat, pertumbuhan bukan sekadar grafik naik, tapi perasaan hidup yang sedikit lebih lega dari kemarin.

Kuningan mungkin sedang berdebat tentang angka, tapi sesungguhnya, yang dipertaruhkan jauh lebih besar: yakni kepercayaan kepada negara. Dan sekali kepercayaan itu hilang, tidak ada data yang cukup akurat untuk mengembalikannya.

Saatnya Pemerintah Belajar Bicara dengan Rasa

Mungkin sudah saatnya pemerintah, baik pusat maupun daerah, belajar menyampaikan data dengan empati. Bukan hanya berapa persen ekonomi tumbuh, tapi siapa yang ikut tumbuh.
Bukan hanya berapa angka kemiskinan turun, tapi siapa yang benar-benar merasakannya.

Karena rakyat tak butuh angka yang sempurna  mereka hanya ingin hidup yang terasa sedikit lebih baik dari laporan pemerintah. Kasus “heboh data BPS” bukan sekadar debat antara DPRD dan lembaga statistik. Ia adalah pengingat bahwa politik data tanpa empati hanya akan melahirkan krisis kepercayaan publik.

Dan seperti judul tulisan ini, hebohnya data BPS dan serangan ramai-ramai terhadap kritik Ketua Dewan hanyalah gejala permukaan dari persoalan yang lebih dalam: Negeri ini sedang kehilangan kepercayaan terhadap angka, karena angka terlalu sering dipakai untuk membungkam rasa.

Namun yang jelas, benar atau salah data BPS. Yang paling benar adalah ketika tunjangan rumah DPRD masih dikucurkan puluhan juta hingga bulan ini. Semuanya cenderung diam, baik politisi, pemerintah, akademisi maupun peneliti. hehe

🖋️ Ageng Sutrisno

Penulis Sela Waktu, rubrik mingguan reflektif di inilahkuningan.com.

Menulis tentang kehidupan, kepemimpinan, dan nurani yang mulai jarang terdengar.