DI KUNINGAN, rakyat masih ramai antre bantuan beras murah. Di pasar, harga cabai bisa bikin jantung berdebar lebih kencang dari musik dangdut koplo atau sound horeg yang viral belakangan ini. Buruh terima gaji sekitar Rp2,2 juta per bulan—cukup untuk hidup pas-pasan, asal tidak sakit gigi atau punya jadwal beruntun kondangan.

Tapi di gedung dewan? Lain cerita. Tiap anggota DPRD Kuningan mendapat “uang rumah” lebih dari Rp22 juta per bulan. Bukan salah ketik: lebih dari dua puluh dua juta. Dengan rincian ketua Rp. 25.000.000, wakil ketua 24.000.000 dan anggota Rp.22.000.000.


Dan karena jumlah mereka sekitar 50 orang, totalnya tembus lebih dari Rp1 miliar per bulan atau tepatnya yakni Rp.1.087.000.000. Tak kalah menarik tunjangan komunikasi intensif wakil rakyat ini juga mencapai angkat fantastis Rp.525.000.000/bulan. Cukup untuk meramaikan UKM dan pedagang kaki lima di Puspa tiap petang.

Lucunya, tetangga kita, Majalengka—yang kemampuan keuangannya lebih tinggi dari kita—hanya memberi Rp13 juta per anggota. Padahal ekonominya tumbuh lebih cepat (5,24% vs Kuningan 4,97%), tingkat kemiskinannya lebih rendah (11,52% vs Kuningan 13,44%). Tapi toh, DPRD Majalengka tidak minta rumah yang lebih mahal dari apartemen di Jakarta Selatan.

Jadi, apa dasar DPRD Kuningan bisa lebih “wah” dari Majalengka? Apakah karena udara Kuningan lebih segar sehingga rumahnya harus lebih mahal? Atau karena view Gunung Ciremai tidak boleh kalah kelas dari view Bandara Kertajati?

Bandingkan lagi dengan rakyat:

  • Buruh Kuningan hidup dengan Rp2,2 juta per bulan.
  • Anggota DPRD dapat Rp22 juta hanya untuk rumah.

Sepuluh kali lipat. Itu baru rumah. Belum tunjangan lain: transportasi, komunikasi, beras, jabatan dll. Totalnya pengeluaran uang rakyat untuk kebutuhan wakilnya adalah Rp.2.552.788.394 per bulan dan itu tidak termasuk anggaran untuk reses.

Mungkin memang benar pepatah lama: rakyat cukup makan nasi dengan garam, asal wakilnya bisa makan steak dengan wine.

Tapi ingat, dana ini bukan jatuh dari langit. Bukan pula hasil keringat DPRD. Semua dari APBD—uang rakyat. Saat ekonomi melambat, kemiskinan naik, dan pengangguran belum turun drastis, wajar jika publik bertanya: apakah DPRD Kuningan masih tahu malu?

Ketua DPRD menyampaikan hal ini sesuai dengan aturan yang berlaku. Seketika saya ingin menjawab dengan lantang, bapak yang terhormat jika bapak tahu. Semua ini harus dilandaskan asas kepatutan, kewajaran, rasionalitas dan kemampuan keuangan daerah.

Apakah wajar untuk rumah saja nominalnya 10 kali lipat UMR kuningan?

Yang membuat kami rakyat semakin sakit hati adalah nominal besar untuk wakil rakyat ini terjadi ketika kuningan dilabeli kategori fiskal daerah SANGAT RENDAH oleh kementrian keuangan sejak September 2024.

Oleh karenanya, saya lantangkan suara untuk menyerukan tunjangan ini harus segera dikurangi. Kalau Majalengka yang lebih kaya saja bisa hidup dengan Rp13 juta, kenapa Kuningan mesti lebih dari 22 juta? Jangan-jangan, rakyat Kuningan dipaksa menanggung selera “sultan” para wakilnya sendiri.

Kalau begini terus, dewan jangan bicara keadilan. Rakyat menjerit, kalian malah berpesta kenyamanan.**

 

_Sela Waktu

 Ageng Sutrisno