Kuningan – Kelahiran kementerian khusus yang mengurusi kebudayaan di tingkat nasional menjadi penanda kuat perubahan arah politik kebudayaan Indonesia. Negara mulai menempatkan kebudayaan sebagai sektor strategis, setara dengan pendidikan, ekonomi, dan pembangunan manusia. Namun di daerah, arah itu belum sepenuhnya diikuti.

Di Jawa Barat, urusan kebudayaan masih berada dalam struktur Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Sementara di Kabupaten Kuningan, kebudayaan “menumpang” di bawah Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud). Struktur ini menimbulkan pertanyaan serius, seberapa kuat kebijakan kebudayaan bisa dijalankan jika tidak berdiri sebagai institusi mandiri?

Isu ini menjadi perhatian Anggota DPRD Jawa Barat dari Fraksi PAN, Toto Suharto S.Farm., Apt., beberapa waktu lalu. Menurutnya, kebudayaan memerlukan payung hukum dan kelembagaan mandiri, agar tidak terus berada di posisi “pinggir”.

“Sebetulnya sudah ada payung hukumnya. Artinya, kebudayaan bisa mendapatkan bantuan dan dukungan sehingga bisa berkembang. Sekarang di DPRD Jawa Barat kami sedang membahas banyak rancangan perda, termasuk ranperda kebudayaan,” ujar Toto.

Ia menjelaskan, ranperda tersebut bukan sekadar regulasi simbolik. Di dalamnya mengatur mekanisme pengakuan, sertifikasi, hingga skema apresiasi bagi seniman dan budayawan.

“Nanti ada sertifikat, ada pengakuan resmi dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Itu bentuk reward. Ada apresiasi, ada pengakuan negara terhadap pelaku budaya,” katanya.

Toto menyoroti fakta, banyak potensi budaya daerah, termasuk dari Kuningan, justru lebih dikenal melalui pusat-pusat kebudayaan di luar daerahnya sendiri.

“Selama ini orang tahunya budaya dari Bandung. Padahal Kuningan punya banyak kekayaan. Tantangannya, bagaimana gaung budaya lokal bisa terdengar luas,” ucapnya.

Sebagai anggota DPRD Jabar, Toto menyebut pihaknya mulai mendorong pendekatan kebudayaan langsung ke masyarakat melalui program legislator.

“Beberapa waktu lalu, Kami punya program sapa warga berbasis budaya. Saya tampilkan calung, kecapi, tari. Budaya itu bukan hanya kesenian, tapi juga gotong royong, ada pula di sektor UMKM, kuliner. Makanan tradisional itu budaya,” tegasnya.

Pertanyaan lain kemudian muncul, apakah regulasi kebudayaan di tingkat provinsi bisa membuka jalan bagi lahirnya dinas kebudayaan tersendiri di daerah?

“Kalau perda kebudayaan sudah berjalan, nanti kita lihat. Bisa saja memang ke depan harus ada dinas kebudayaan sendiri. Supaya ada wadah, ada aturan, ada arah yang jelas,” kata Toto.

Ia menilai, tanpa institusi khusus, kebijakan kebudayaan akan selalu kalah prioritas dibanding sektor lain.

Di tingkat daerah, pandangan serupa disampaikan Kepala Bidang Kebudayaan Disdikbud Kabupaten Kuningan, Rio Anto Permana Saputra. Menurutnya, persoalan utama bukan pada ketiadaan potensi, melainkan keberanian pengambil kebijakan.

“Kita menunggu kebijakan di daerah,karena di pusat, Kementerian Kebudayaan sudah mandiri, ada banyak pihak yang peduli dan terus mendukung kekayaan budaya di kuningan,” ujarnya.

Rio menjelaskan, beban kerja kebudayaan sangat luas dan kompleks. Mulai dari Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) hingga cagar budaya fisik, semuanya membutuhkan perhatian khusus dan penanganan berkelanjutan.

“Urusan kebudayaan itu banyak. WBTB meliputi bahasa lisan, seni, tradisi. Cagar budaya itu kebendaan. Semua harus diselesaikan satu per satu,” katanya.

Ia mencontohkan kondisi di Kuningan yang memiliki kekayaan budaya hampir di setiap desa, dengan karakter yang berbeda-beda.

“Tiap desa punya warisan leluhur sendiri. Kuliner, pakaian adat, rumah adat. Kalau sekarang ada 376 desa dan kelurahan, minimal satu ciri khas per desa. Itu potensi besar,” ujar Rio.

Namun potensi besar itu, menurutnya, dapat berkembang lebih maksimal, jika kebudayaan memiliki Dinas Mandiri, karena fakta saat ini, urusan kebudayaan bertempat di satu bidang kecil dalam struktur dinas besar, Disdikbud.

“Intinya, kami menunggu kebijakan eksekutif dan legislatif. Kalau ada dinas kebudayaan sendiri, pekerjaan ini bisa jauh lebih fokus dan terukur,” katanya.

Masih butuh waktu, menunggu Bidang kebudayaan di Kuningan menjadi fokus yang harus berkembang. Karena masyarakat tidak lupa, Kuningan pernah menggaungkan daerahnya sebagai Kabupaten Angklung. Lebih dari alat musik, angklung dibKuningan meniliki nilai historis, dan budaya, menjadi ciri khas yang seharusnya terkenal dari Kuningan. (Bubud Sihabudin)