Penghasilan ASN Kuningan Dipotong 20%, DPRD Justru Diberi Rp25 Juta
ADA SEBUAH ironi yang tak bisa dengan mudah dilewatkan begitu saja. Di satu sisi, ASN di Kuningan harus berkorban merelakan TPP mereka dipotong 20 persen untuk menutup lubang hutang Pemda. Di sisi lain, anggota DPRD masih tenang duduk di kursi empuk, dengan tunjangan rumah mencapai 25 juta rupiah per bulan. Perbandingan ini bukan sekadar soal angka, tapi tentang wajah keadilan yang makin kabur di mata publik.
Namun anehnya, kata “pengorbanan ini” hanya berlaku ke bawah. Ke atas, ia mendadak lenyap. Sebab, sementara ASN mengencangkan ikat pinggang, anggota DPRD tetap nyaman menyesap tunjangan rumah hingga dua puluh lima juta rupiah per bulan. Tidak ada kabar potongan, tidak ada tanda solidaritas. Seolah-olah krisis hanyalah urusan meja ASN, bukan urusan kursi hangat DPRD.
Kebijakan pemotongan TPP sejatinya berangkat dari kegentingan: Pemda terbelit hutang, keuangan daerah megap-megap. Maka ASN dipanggil untuk ikut berkorban. Secara administratif, kebijakan ini sah-sah saja—ada dasar peraturan, ada mekanisme legal. Namun di luar aspek hukum, ada sisi manusiawi yang tak bisa disembunyikan: setiap potongan itu berarti ada biaya sekolah anak yang tertunda, ada cicilan rumah yang lebih lama lunas, ada kebutuhan dapur yang harus dipangkas.
Sementara itu, DPRD seolah bebas dari rasa malu. Bayangkan, ketika ASN bingung membagi gaji untuk cicilan rumah, sekolah anak, dan dapur yang kian sempit, wakil rakyat justru bisa tenang menambah koleksi sofa baru atau sekadar menyewa rumah mewah—semua ditanggung rakyat.
DPRD: Penonton di Balkon Kehormatan
DPRD gemar bicara soal pengawasan, soal kepentingan rakyat, soal “suara nurani”. Tapi dalam soal ini, nurani tampaknya ikut dipotong—bukan tunjangannya. Mereka seperti penonton di balkon teater, menonton ASN menari dengan kaki dirantai, sambil sendiri tetap menikmati hidangan lengkap.
Bukankah DPRD bagian dari mesin anggaran yang ikut menumpuk hutang? Kalau begitu, mengapa mereka tidak ikut menanggung beban? Mengapa pengorbanan hanya dituntut dari ASN, bukan dari para pengambil keputusan yang sebenarnya lebih layak berhemat?
Luka Keadilan
Keadilan tidak hanya soal pasal hukum, tapi rasa. Dan rasa itulah yang kini robek. ASN merasa diperlakukan sebagai “tumbal”, publik merasa dikhianati. Rakyat bisa menerima pahitnya krisis, tapi tidak bisa menerima ketidakadilan yang begitu terang benderang.
Simbol ini terlalu mencolok: ASN dipotong 20 persen, DPRD tetap dapat 25 juta. Bahkan orang awam pun bisa menghitung ironi itu tanpa perlu membuka APBD.
Politik yang Menyakiti
Dampaknya jelas. ASN yang kehilangan sebagian penghasilan mungkin akan bekerja setengah hati. Publik yang muak akan makin sinis pada politik lokal. Yang tersisa hanyalah kekecewaan yang terus menumpuk, menunggu satu momentum untuk meledak jadi amarah.
Lucunya, DPRD mungkin tidak menyadari bahwa mereka sedang menyiapkan panggung untuk diri mereka sendiri—panggung tempat publik bersorak, bukan karena kagum, tapi karena muak.
Mungkin beginilah wajah keadilan di Kuningan hari ini: ASN yang gajinya dipotong dianggap sebagai bukti “cinta daerah”, sementara DPRD yang tetap kenyang dianggap sebagai “takdir demokrasi”. Ironi yang terlalu pahit untuk ditelan, tapi terlalu konyol untuk tidak ditertawakan.
Pada akhirnya, hutang daerah mungkin bisa dibayar dengan uang. Tapi hutang moral DPRD kepada ASN dan rakyat? Itu tidak bisa lunas, bahkan dengan tunjangan 25 juta per bulan.**
Sela Waktu – Ageng Sutrisno


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.