Serangan Whatsapp Bupati Kuningan, Dari File APK Ke Perjanjian Bilateral Amerika Serikat
SUATU MALAM di sebuah warung kopi kecil di sudut Kuningan, sambil menggulir layar ponsel, saya menerima pesan mengejutkan. Akun WhatsApp Bupati meminta tolong untuk mengirimkan sejumlah uang. Insting waspada langsung bekerja. Tidak mungkin Bupati mengirim pesan seperti itu. Benar saja 10 menit berselang, berita tentang diretasnya akun Bupati beredar. Warung kopi itu masih ramai, kopi tetap hangat, tapi rasa waswas tak bisa dibendung. Dunia digital yang kita puja ternyata juga bisa menjebak siapa saja tanpa aba-aba.
Di negeri ini, undangan pernikahan tak lagi selalu membawa kabar bahagia. Di Kuningan, sebuah file APK bertuliskan “Undangan Pernikahan” justru jadi pintu masuk ke kejahatan digital yang menyasar para pejabat dan tokoh publik. Dalam beberapa hari terakhir, akun WhatsApp milik Bupati Kuningan, ajudannya, hingga salah satu komisioner Baznas Kuningan diambil alih secara paksa. Modusnya rapi, sederhana, tapi mematikan: kirim file APK, buat korban percaya, lalu setelah dibuka, sistem kendali akun pun berpindah tangan.
Akun yang diretas kemudian dipakai untuk meminta uang dan pinjaman kepada kontak-kontak yang tersimpan. Sebuah skema yang memadukan tipuan psikologis dan kelemahan teknis. Dan lebih dari itu sebuah alarm keras tentang betapa rapuhnya literasi digital, bahkan di kalangan elite pemerintahan sekalipun.
Ketika Para Pengambil Keputusan Tak Mampu Mengamankan Diri Sendiri
Kita prihatin dan turut berduka atas insiden ini dan semoga Kembali pulih seperti sedia kala. Keprihatinan ini bukan hanya karena individu penting yang menjadi korban, tapi karena ini menunjukkan bahwa sistem, edukasi, dan kesadaran kita masih tertinggal jauh dari para pelaku kejahatan digital. Lebih ironis lagi, mereka yang dipercaya untuk membuat kebijakan justru tak luput dari kelalaian paling dasar dalam keamanan siber.
Dan ini bukan pertama. Kita sudah melihat kasus Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate yang terjerat kasus BTS namun sebelumnya juga menghadapi kebocoran data. Lalu mantan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, anggota DPR, hingga tokoh-tokoh publik lainnya pernah mengalami peretasan akun media sosial. Rangkaian ini membuat publik layak bertanya: kalau para pejabat negara saja bisa diretas dengan mudah, bagaimana dengan rakyat biasa?
Kontras Mencolok: Dari File APK ke Perjanjian Bilateral
Peristiwa peretasan ini terjadi bersamaan dengan pengumuman besar: Pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia pada 22 Juli 2025 menyepakati kerangka kerja perjanjian dagang resiprokal, yang salah satu isinya menyebut pemerintah Indonesia akan menyediakan data pribadi WNI kepada Amerika Serikat. Bagi sebagian orang, ini terdengar seperti kerja sama global yang progresif. Tapi di tengah rentetan peretasan dan kebocoran data nasional, ini justru menimbulkan kecemasan baru.
Dalam siaran pers pada Kamis, 24 Juli 2025. Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan data pribadi warga negara tidak boleh dijadikan objek kesepakatan perdagangan atau ekonomi antarnegara. “Kedaulatan data pribadi adalah bagian dari kedaulatan negara. Presiden Prabowo berpotensi menyerahkannya kepada pihak asing,”
Kemudian, Imparsial yang merupakan NGO di bidang Hak Asasi Manusia juga menilai klausul tersebut bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia (HAM), khususnya hak atas privasi. “Pemerintah bahkan tidak boleh semena-mena mengakses data pribadi rakyatnya kecuali dalam kondisi darurat yang membahayakan keamanan nasional,”
Apakah kita benar-benar mampu menjaga data rakyat jika data para pejabat saja tak aman? Apakah pantas menyerahkan informasi rakyat kepada negara lain ketika pusat data nasional Indonesia sendiri pernah diretas pada 2024 dengan permintaan tebusan?
Bicara tentang pusat data nasional. Saat itu sistemnya lumpuh, proses pelayanan publik terganggu, dan belum ada transparansi utuh soal bagaimana kejadian itu bisa terjadi dan apa langkah perbaikannya kedepan.
Modus: Teknologi Dipermainkan, Kepercayaan Disalahgunakan
Modus peretasan lewat APK sangat sederhana namun efektif. File berisi aplikasi palsu dikirim, biasanya disamarkan sebagai undangan pernikahan, tagihan, atau informasi penting lainnya. Begitu dibuka, aplikasi itu meminta izin akses ke sistem ponsel dan di sinilah akun WhatsApp bisa dibajak sepenuhnya. Kontak, pesan, hingga autentikasi dua langkah bisa diambil alih. Pelaku lalu beraksi seolah-olah mereka adalah korban, memanfaatkan rasa percaya dari teman-teman atau rekan kerja korban.
Di luar Kuningan, pejabat yang pernah menjadi korban peretasan akun digital antara lain:
Gubernur Jawa Tengah Irjen Ahmad Lutfi pernah diretas melalui aplikasi (APK) palsu yang dikirimkan ke ponselnya. Pelaku adalah ayah dan anak dari OKI, Sumsel. Modus: kirim APK bertema “surat”.
Wakil Wali Kota Tarakan, Effendhi Djunprianto. Akun WhatsApp diretas, pelaku menghubungi kontak korban untuk meminta uang, berpura-pura butuh bantuan.
Wakil Bupati Banyumas, Sadewo Tri Lastiono. Membuka file undangan dalam bentuk APK. Akibatnya: akun WhatsApp hilang kendali, disalahgunakan untuk penipuan, dan muncul tagihan pembelian fiktif lewat aplikasi operator seluler.
Wakil Bupati Tulungagung, Gatot Sunu Wibowo. Aplikasi WhatsApp tidak bisa diakses. Diduga diretas, dilaporkan ke Mabes Polri & Polda Jatim.
Bupati Bantul, Abdul Halim Muslih. Akun WhatsApp diretas dan dipakai pelaku untuk meminta transfer uang Rp2 juta. Lokasi pelaku dilacak berada di Surabaya.
Bupati Sleman, Kustini Sri Purnomo. WhatsApp diretas setelah pelaku mencoba login berulang kali menggunakan kode OTP acak. Modus sama: pelaku minta uang lewat WA dengan alasan bantu keponakan.
Solusi: Edukasi, Regulasi, dan Literasi Siber yang Progresif
Solusi tidak cukup dengan imbauan untuk “lebih hati-hati”. Negara harus membangun sistem edukasi literasi digital yang kuat dimulai dari kalangan ASN, pejabat publik, dan diperluas ke masyarakat. Selain itu, penguatan regulasi perlindungan data pribadi harus dipercepat implementasinya, bukan hanya dibahas di meja parlemen.
Perlu juga sistem otentikasi digital berbasis biometrik dan keamanan berlapis untuk akun-akun strategis pejabat. Dan paling penting: jangan remehkan social engineering karena bukan teknologinya yang canggih, tapi kelemahan manusianya yang terus dimanfaatkan.
Malam semakin larut di kota kecil ini. Lampu-lampu jalan menyala temaram, sementara notifikasi digital tak berhenti berbunyi. Kita hidup dalam dunia yang serba terhubung, namun juga serba rentan. Di negeri yang bahkan tak bisa menjaga datanya sendiri, barangkali satu-satunya keamanan hanyalah kesadaran: bahwa tak semua yang tampak canggih, berarti aman. Yang bocor bukan hanya data, tapi juga kepercayaan. Dan ketika kepercayaan luntur, kekuasaan tinggal menunggu waktu hancur.
_Sela Waktu
Ageng Sutrisno


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.