Tagline “Kuningan Moyan”, Ide Tidak Sehat Disaat Kuningan Sakit
DESAS DESUS pergantian branding dari Kuningan Beu menjadi Kuningan Moyan nampaknya bukan sekedar isapan jempol belaka. Ide gila yang serba buru – buru ini layak dipertanyakan kewarasanya agar kuningan tidak meleset dari visi Kuningan Melesat.
Dokumen yang disusun pemerintah Kab.Kuningan 2025 ini jelas – jelas Langkah sembrono yang tidak sehat di saat kuningan sakit. Dari pada mengubah branding dan tagline lebih baik gunakan untuk porsi yang lebih utama seperti pendidikan, sosial, pembinaan sdm atau promosi lainya yang benar – benar bisa memberi dampak nyata bagi Kuningan.
Tagline bukan sekadar untaian kata atau slogan yang manis didengar. Tagline adalah kompas arah. Ia merangkai citra, menanamkan pesan, dan mengikat emosi antara sebuah tempat dengan siapa pun yang singgah di sana.
Kuningan, dengan tagline “Kuningan Beu”, telah memilih jalan yang sederhana namun bermakna.
“Beu” bukan hanya ajakan dalam dialek lokal yang akrab, namun juga akronim penuh rasa:
Bahagia, Estetik, Unik.
Tagline ini hadir bukan di ruang kosong, melainkan di masa transisi, ketika Kuningan kehilangan pemimpin tertingginya dan berada dalam masa PJ bupati. Beu adalah cara daerah ini menyulam harapan di tengah duka dan ketidakpastian.
Namun, baru seumur jagung, muncul rencana untuk mengganti tagline itu dengan “Kuningan Moyan.”
Moyan memang punya makna yang baik dalam dialek Sunda Kuningan—unggul, mahir, atau berjemur di pagi hari.
Tetapi pertanyaan besarnya, apakah mengganti tagline yang baru seumur setahun ini langkah yang bijak?
Branding Bukan Tentang Ganti Kulit, Tapi Tentang Merawat Akar
Dalam dunia branding, konsistensi adalah kunci. Mengutip riset Lucidpress tahun 2020, brand yang konsisten dapat meningkatkan pendapatan hingga 33%. Sebab, konsistensi menumbuhkan rasa percaya, memperkuat daya ingat, dan mengikat emosi jangka panjang.
Perusahaan global seperti Nike atau Apple tak berganti slogan setiap pergantian CEO.
Mereka menjaga identitas yang sama selama bertahun-tahun, dan justru memperkuat makna di balik tagline tersebut.
Dalam konteks kota, contoh paling nyata adalah tagline “Jogja Istimewa” milik Yogyakarta.
Tagline ini digunakan sejak tahun 2012, diresmikan melalui Keputusan Gubernur DIY.
Meski di awal sempat memicu pro dan kontra, Jogja Istimewa tetap dipertahankan hingga kini, menjadi ikon yang melekat di benak wisatawan, bahkan masuk ke banyak merchandise dan kampanye nasional.
Butuh lebih dari lima tahun bagi “Jogja Istimewa” untuk benar-benar diterima secara luas.
Sekarang, siapa yang tak mengenalnya?
Apakah Moyan Sudah Lebih Kuat Daripada Beu?
Jujur saja, “Moyan” punya keunikan lokal. Namun dari sudut pandang pariwisata yang lebih luas, maknanya terasa kurang fleksibel. Kata “berjemur” bisa menjadi terlalu sempit jika ingin menarik wisatawan non-lokal. Apakah semua orang paham konteks “moyan”?
Sementara Beu punya makna lebih luas, terbuka, dan adaptif.
Tagline yang baik seharusnya tidak hanya indah di telinga warga lokal, tapi juga mampu merangkul wisatawan nasional, bahkan mancanegara.
Mengganti Tagline = Menghapus Proses Branding dari Nol Lagi
Setiap pergantian tagline akan mengulang proses brand building dari titik awal.
Butuh biaya, butuh tenaga, butuh kampanye berkelanjutan.
Apakah Kuningan siap memulai lagi dari nol?
Bahkan dalam teori komunikasi pemasaran, butuh minimal 3–5 tahun untuk melihat efektivitas sebuah tagline.
Tagline yang kuat ibarat benih, bukan soal cepat berbuah,
tapi soal kesabaran merawatnya hingga akarnya tertancap dalam.
Saran Bijak: Sempurnakan, Jangan diganti
Daripada terburu-buru mengganti, kenapa tidak memperkuat dan menyempurnakan “Kuningan Beu”?
- Perkuat narasi “Beu” di media sosial, video pariwisata, hingga produk-produk ekonomi kreatif.
- Kolaborasikan dengan komunitas lokal untuk kampanye kreatif.
- Adakan festival bertema Bahagia, Estetik, Unik.
Brand yang lahir dari pelibatan masyarakat, biasanya lebih kuat daripada sekadar hasil keputusan ruang rapat.
Penutup: Jangan Tergesa, Tagline Adalah Napas Jangka Panjang
Mengganti tagline terlalu cepat, hanya karena ganti pemimpin, akan membuat branding Kuningan terlihat tidak konsisten. Sama saja seperti berjalan tanpa peta, hanya mengikuti arah angin kekuasaan.
Mari belajar dari kota lain. Branding yang kuat lahir dari kesetiaan, bukan dari kegelisahan. Terlalu sayang jika Kuningan hanya menjadi kota yang “sering ganti nama”,
padahal ia punya potensi untuk menjadi daerah yang mengakar kuat dalam ingatan.
Sebelum memutuskan mengganti, bijaknya kita bertanya:
Apakah kita benar-benar ingin maju, atau sekadar ingin merasa baru?
Referensi:
- Lucidpress Brand Consistency Report, 2020
- Forbes, Why Branding Consistency is Key
- Kotler, Philip. Marketing Management, 15th Edition
- Studi Kasus “Jogja Istimewa”, Pemerintah DIY, 2012
- Kementerian Pariwisata RI, Panduan Branding Pariwisata Daerah, 2018
Ageng Sutrisno Wisanggeni Wicaksono
Founder Komunitas Jalan Bareng


Tinggalkan Balasan
Anda harus masuk untuk berkomentar.